/0/3040/coverbig.jpg?v=5b78bd6db84067015b866a6719700f16)
pangeran es diam-diam membuat hati meleleh.
"Tiga ... Dua ... Satu! Fight!"
Suara penghapus dipukulkan. Dua tangan saling mengait seerat mungkin sambil bertumpu pada meja. Bersama dengan semarak tepuk tangan anak-anak sekelas dan juga sorakan kencang. Sesekali Shaina mengangkat ujung lengan seragam, lalu mengerahkan segenap kekuatan dalam otot-otot lengannya untuk melawan satu cowok di kelasnya dan beradu panco.
"SHAINA! SHAINA! SHAINA!"
"PATAHIN AJA, NA! SIKAT!"
"JANGAN KASIH KENDOR!"
Detik demi detik, silih berganti tangan Shaina menekan dan tertekan hingga memiring perlahan ke kanan dan ke kiri. Entah sejak kapan menggeluti kegiatan ini, tapi hampir setiap hari Shaina menantang teman-temannya. Dan, senjata yang membuat Shaina selalu menang yaitu lewat tatapan mata dan bibir seksinya. Seperti sekarang, meski otot sedang berjuang tapi Shaina tetap terlihat enjoy sembari mempertahankan senyum andalannya.
Percayalah, semua iman lelaki tergoda berkat itu. Shaina memiliki manic mata yang indah seperti batu emerald yang mampu merobohkan benteng hati dan keegoisan.
Bruk!
"Yaaahhhh!"
Dan terbukti, saat cowok itu lengah maka Shaina dengan mantap menekan tangannya hingga jatuh membentur meja. Saat itu juga barulah dia sadar telah dikalahkan. Bukan Shaina yang heboh tapi teman-teman lain, mereka saling mengkoor dan terbahak-bahak menertawai pak ketua kelas yang cemen itu. Dia hanya mengacak-acak belakang rambutnya dengan muka memerah padam.
"Ayo, siapa lagi mau coba duel sama gue maju sini!" Ujar Shaina dengan napas terengah-engah, lima kali panco baginya masih belum cukup untuk pemanasan di pagi ini.
"Gue dong, Na!" Cowok di bangku belakang berdiri dan menyimpan ponsel di saku celana. Menempati tempat duduk di depan Shaina dan melemaskan jari-jari sesaat.
"Siap? Yok!" tantang Shaina antusias.
Dan, terjadi lagi pertandingan panco di kelas sepuluh IPA-2. Semarak anak-anak sekelas kembali memenuhi segala penjuru ruangan itu untuk menyemangati Shaina dan lawannya kini. Bahkan, beberapa murid lain mulai melipir dan melihat dengan penasaran di luar kelas itu, tak sedikit juga yang menonton dari jendela bagaimana Shaina mampu menjatuhkan banyak cowok yang ingin menjajal kemampuan. Mereka dibuat geleng-geleng.
Di mata para cowok, Shaina teramat mengagumkan. Dia selalu berusaha membuktikan bahwa derajat perempuan dan laki-laki itu sama. Sehingga, perempuan tidak bisa dipandang rendah begitu saja oleh mereka kaum lelaki.
Jaman emansipasi.
Di tempat lain, Shaka baru saja datang sepuluh menit sebelum bel masuk. Dengan headphone membungkam telinga, Shaka menyusuri sepanjang koridor yang ramai dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket bomber. Wajahnya dingin tanpa ekspresi, Shaka menjadi fokus perhatian cewek-cewek biang gossip yang bertebaran di pinggir setiap koridor yang ia lewati. Bahkan tak segan-segan mereka memanggil Shaka, menyapa selamat pagi, dan meneriakan berapa nomor hape Shaka, namun tidak digubris sama sekali meski Shaka mendengar suaranya.
"Woy, Ka!" Tak lama seseorang datang dari belakang dan mendaratkan tepukan kerasnya di pundak Shaka. Seketika menginterupsi aktivitas itu dan Shaka bergegas menurunkan headphonenya ke leher. Ternyata si Jafar.
"Ka, gue barusan liat ada anak kelas lo adu panco, cewek, rame gitu di luar pada ngeliatin. Siapa dia? Coba, gih, lo tanding ama dia, dia jago banget asli."
Shaina, cewek tukang panco menggemparkan sekolah. Sejujurnya Shaka bosan sekali dengan fakta itu. Entah Shaina punya ilmu apa Shaka tidak ingin tau-menau, yang pasti Shaka malas sekali jika disuruh membaur dengannya. Dia tidak sepaham dengan Shaka. Dia suka menjadi pusat perhatian, sementara Shaka sebaliknya.
"Ayo, Ka, keburu bel!" Tanpa aba-aba Jafar langsung menarik bahu Shaka menuju kelas sepuluh IPA-2 di ujung koridor itu. Hingga menembus kerumunan murid-murid dan masuk ke dalam. Suasana berisik akan bermacam teriakan cewek kelas itu, karena Shaina lagi-lagi mampu mengalahkan cowok kelas sebalah dan yang terakhir itu.
"Ehm, hai, Shaina!" Jafar setengah mengeja nama yang tertera pada name tag seragam itu, sebagaimana murid-murid meneriakkan tadi. "Shaina, lo hebat banget ya?"
Tampak gadis itu tersenyum tipis usai meneguk air minumnya. "Hebat apanya? Cuma olahraga doang."
"Panco sekali lagi dong, sama Shaka, pake taruhan tapi," usulan Jafar mengundang pelototan Shaka tapi tidak digubris olehnya. "Gimana, mau gak? Yakin seru deh."
"Sori, maksud lo taruhan apa ya?" Shaina mengerutkan kening masih terduduk di bangkunya. Lambat laun murid-murid yang mengerubungi kelasnya berangsur pergi satu per satu bersama dengan decakan kagum tiada henti.
"Gini, kalo lo yang menang, nanti Shaka bakal traktir lo makan siang. Tapi, kalo misalnya Shaka yang menang..."
Shaka menggeram pelan, merasa tidak enak mendapati tatapan horor di mata Jafar. Pasalnya, keponakannya itu suka aneh-aneh dan bertindak semau udelnya sendiri.
Seperti yang dulu-dulu pernah terjadi selama keduanya tumbuh bersama di sekolah yang sama pula. Jafar suka nyodorin Shaka dalam hal apapun, termasuk soal cewek. Jafar paling sering membuat akal-akalan untuk mencomblangkan Shaka dengan cewek yang berbeda supaya Shaka keluar dari zona nyamannya. Nyatanya, sampai detik ini juga, tidak ada satupun yang berhasil.
Shaka masih sendiri, dan tak ada niat pacaran. Mungkin hanya itu yang tidak diwariskan oleh Zendi, sifat playboy.
"Kalo Shaka yang menang?" Shaina menatap bergantian dua cowok itu.
"Kalo misalnya Shaka yang menang ... kalian PDKT!"
"Hah?!" Shaka dan Shaina memekik bersama.
"Cuma main-main doang kok. Shaka jomblo, lo jomblo juga, kan? Sesama jomblo yaudah gass aja, PDKT. Paling engga kan kita mengurangi populasi jomblo di muka bumi ini, hehehe." Jafar tertawa garing, semakin dihujani pelototan tajam oleh Shaka, sesekali Shaka melirik ke arah Shaina yang juga mendadak kehabisan oksigen dan harus meminum banyak-banyak air dalam botolnya.
"Gua gak mau," putus Shaka.
"Ayolah, Ka." Pinta Jafar memelas.
"Sekali enggak, ya, enggak."
"Huuu! Dasar cemen lo!" Kalimat itu bisa terlontar kilat dari bibir Shaina. Akibatnya, Shaka langsung memandangnya seakan menusuk-nusuk, disertai muka datar seperti biasanya. Tapi Shaina hanya acuh tak acuh saja menanggapi itu.
"Kita gak sepadan," kata Shaka nyaris tak terdengar.
"Pantes aja namanya Shaka, orangnya takut kaya kena sakarotul maut, hahaha. Padahal cuma adu panco doang. Huu, dasar jiper!" Shaina tertawa seakan meremehkan. Karena memang hanya Shaka, cowok di kelas itu yang belum pernah sekali pun beradu panco dengan Shaina.
"Oke."
Terdesak, dan menyangkut harga diri. Shaka spontan melepas tas punggungnya dan melempar ke bangku di belakang, lalu menyodorkan tangan kanannya dengan siku bertumpu di atas meja itu. Aneh, Shaina bagaikan diperdaya oleh tatapan Shaka yang begitu tajam bukan main, hingga susah payah Shaina menelan ludah dan ragu-ragu saat hendak menyambut tangan kekar itu.
Mati gaya. Dingin. Sensasi itu kentara sekali terasa saat tangan mereka menempel dengan jemari saling mengerat. Jafar seketika berkoar-koar kala itu, hingga mengundang murid-murid lain berhambur mendekat dan mengerubungi bersama bangku Shaina. Dan, lima menit sebelum bel hari ini mungkin akan menjadi catatan sejarah di kamus hidup Shaka. Berurusan dengan cewek.
Keduanya menarik napas dalam sebelum akhirnya..
"Fighting!" Seru Jafar bagai wasit.
Sorakan kencang pecah dalam sekejap saja. Shaka dan Shaina mengerahkan tenaga dalam, bertarung dengan sengit saling menekan dan menjatuhkan satu sama lain perlahan-lahan. Shaina sampai menggigit bibir rapat-rapat merasakan tangannya nyaris ingin hancur karena remasan genggaman Shaka yang sangat amat sesak.
"SHAKA! SHAKA! SHAKA!"
"SHAINA! JANGAN KALAH!"
Riuh tepuk tangan mendominasi suasana. Sepertinya, keadaan akan berbalik. Jika menit-menit lalu Shaina menghipnotis cowok-cowok dengan tatapan teduh dan senyum paling manis yang ia punya, maka sekarang keadaan jungkir balik. Dengan mata elangnya, Shaka mengintimidasi Shaina tak tanggung-tanggung, tak peduli gender. Karena Shaka sudah diremehkan jadi ia bertekad bulat harus memenangkan adu panco ini.
"Argh!" Shaina menggeram kesal seraya mencengkram tepi bangku. Detik-detik yang terlewati, lama-lama pertahanan otot lengannya mulai melemas seakan ingin putus. Sementara Shaka terus menekan tangannya kuat-kuat hingga memiring dan sedikit demi sedikit semakin mendarat mendekati permukaan meja.
"SHAKA! AYO, KA! PEPET TERUS!" Jafar memukul bangku bertubi-tubi untuk membakar semangat Shaka. Meskipun dari awal Shaka juga sudah menebak. Secara logika, dimana-mana kekuatan cowok akan lebih besar dari pada cewek. Tapi Shaina menantang apa boleh buat, Shaka hanya mengikuti permainan itu.
"Argh! Gue.. pasti.. menang!" Desis Shaina terputus-putus. Dan, samar-samar senyum penuh arti terbit di bibir Shaka, melihat Shaina begitu mati-matian mempertahankan tangan mereka agar mengambang di udara. Sampai tiba waktunya kenyataan berbicara ..
Bruk!
Persis. Shaka berhasil menjatuhkan tangan Shaina di hadapan teman-teman, bertepatan dengan bunyi bel masuk dikumandangkan dengan nyaringnya. Masih tidak percaya, Shaina terperangah memperhatikan tangan kekar Shaka menahan di atas tangannya, disaat sorakan kencang di sekeliling menggebu-gebu terutama Jafar.
"YIIHAA.. AKHIRNYA SHAKA PUNYA GEBETAN!" Jafar tertawa terbahak-bahak bagaikan di atas angin.
Detik itu juga Shaka melepaskan tangannya dari Shaina. Mendadak matanya membola saat bertemu pandang dengan gadis itu. Jadi, taruhan itu sungguh-sungguh? Shaka harus melancarkan PDKT dengan Shaina? Konyol sekali. Mungkin karena sudah terlalu miris dan freehatin ikut meratapi ke-jomblo-an Shaka, Jafar jadi merepotkan diri sendiri menjadi mak comblang untuk Shaka.
Selama pelajaran Matematika berlangsung, kerap kali Shaina menengok ke belakang-tempat duduk Shaka. "Mestinya tadi lo tuh kalah aja. Bukan malah menang gimana, sih?! Taruhan lo sama Jafar itu gak banget tau, gak?"
"Berisik."
BERISI BANYAK ADEGAN HOT! Rey pemuda berusia 20 tahunan mulai merasakan nafsu birahinya naik ketika hadirnya ibu tiri. Ayahnya menikah dengan wanita kembar yang memiliki paras yang cantik dan tubuh yang molek. Disitulah Rey mencari kesempatan agar bisa menyalurkan hasratnya. Yuk ikuti cerita lengkapnya !!
Maya terpaksa menggantikan posisi adik perempuannya untuk bertunangan dengan Arjuna, seorang pria cacat yang telah kehilangan statusnya sebagai pewaris keluarga. Pada awalnya, mereka hanyalah pasangan nominal. Namun, segalanya berubah ketika identitas Maya yang sebenarnya secara bertahap terungkap. Ternyata dia adalah seorang peretas profesional, komposer misterius, dan satu-satunya penerus master pemahat giok internasional .... Semakin banyak yang terungkap tentang Maya, Arjuna semakin merasa gelisah. Penyanyi terkenal, pemenang penghargaan aktor, pewaris dari keluarga kaya - ada begitu banyak pria yang menawan sedang mengejar tunangannya, Maya. Apa yang harus dilakukan Arjuna?!
Ketika mereka masih kecil, Deddy menyelamatkan nyawa Nayla. Bertahun-tahun kemudian, setelah Deddy berakhir dalam keadaan koma akibat kecelakaan mobil, Nayla menikah dengannya tanpa berpikir dua kali dan bahkan menggunakan pengetahuan medisnya untuk menyembuhkannya. Selama dua tahun, Nayla setia, mencari kasih sayangnya dan ingin melunasi utang budinya yang menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi ketika cinta pertama Deddy kembali, Nayla, yang dihadapkan dengan perceraian, tidak ragu untuk menandatangani surat perceraian. Meskipun dicap sebagai barang bekas, hanya sedikit yang tahu bakatnya yang sebenarnya. Dia adalah seorang pengemudi mobil balap, seorang desainer terkenal, seorang peretas jenius, dan seorang dokter ahli. Menyesali keputusannya, Deddy memohon pengampunannya. Pada saat ini, seorang CEO yang menawan turun tangan, memeluk Nayla dan menyatakan, "Enyah! Dia adalah istriku!" Terkejut, Nayla berseru, "Apa katamu?"
Dunia Isabella Moretti hancur dalam satu malam. Orang tuanya tewas di tangan Lorenzo Ricciardi, mafia paling berbahaya sekaligus pria paling kejam di dunia. Namun, ketika tiba giliran Isabella untuk menemui ajalnya, Lorenzo malah membiarkannya hidup, tapi sebagai tawanan pribadinya. Lorenzo adalah pria yang menguasai dunia bawah tanah dengan kekejaman tanpa batas. Namun, di balik tatapan dinginnya, ada sisi lembut yang hanya bisa dilihat oleh Isabella. Saat kebencian berubah menjadi gairah cinta, Isabella sadar tak akan bisa lepas dari dekapan mafia kejam itu. Sayangnya, Lorenzo tidak tahu bahwa Isabella menyimpan rencana balas dendam untuk kematian keluarganya. Hingga akhirnya ia mendapati dirinya hamil, membawa benih dari pria yang paling ia benci sekaligus pria yang mulai ia cintai. Dapatkah Isabella melanjutkan dendamnya, ataukah ia akan menyerah pada cinta sang iblis tampan? Dan saat Lorenzo menghadapi pilihan antara kekuasaannya dan wanita yang mencuri hatinya, akankah ia tetap menjadi raja tanpa hati, atau menyerah pada pesona Isabella?
Yuvina, pewaris sah yang telah lama terlupakan, kembali ke keluarganya, mencurahkan isi hatinya untuk memenangkan hati mereka. Namun, dia harus melepaskan identitasnya, prestasi akademisnya, dan karya kreatifnya kepada saudara perempuan angkatnya. Sebagai imbalan atas pengorbanannya, dia tidak menemukan kehangatan, hanya pengabaian yang lebih dalam. Dengan tegas, Yuvina bersumpah akan memutus semua ikatan emosional. Berubah, dia sekarang berdiri sebagai ahli seni bela diri, mahir dalam delapan bahasa, seorang ahli medis yang terhormat, dan seorang desainer terkenal. Dengan tekad yang baru ditemukan, dia menyatakan, "Mulai hari ini dan seterusnya, tidak ada seorang pun di keluarga ini yang boleh menyinggungku."
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?