/0/3016/coverbig.jpg?v=ab4e688e1f8664966a567db5f0214361)
Cerita ini mengisahkan tentang pernikahan antara seorang anak majikan dengan pembantu baru yang ibunya adalah pembantu lama dan memiliki banyak jasa untuk keluarga majikan. Pak Handoko memiki anak kandung yang buta, dan anak tiri yang tidak buta. Anak tirinya menyukai wanita yang akan dinikahkan dengan anak kandungnya itu. Dalam cerita tersebut, Ihsan, anak kandung Pak Handoko sebenarnya sudah tidak buta lagi, tapi karena ada yang tidak beres, dia berpura-pura tetap buta. Hingga akhirnya, orang yang pertama kali mengetahuinya adalah Harmoni, wanita yang menjadi istrinya.
Panas terik, keringat berjatuhan, bahkan ramai dan padatnya jalan raya, tak menyudutkan semangat dari gadis sederhana berambut panjang itu. Harmoni.
Dia mendapat panggilan dari seorang yang dulu pernah begitu berjasa dalam keluarganya. Yaitu, Pak Handoko.
Pak Handoko adalah mantan majikan dari Bu Marni, Ibunya Harmoni. Dulu, Bu Marni pernah dibantu berkali-kali oleh sang majikan. Akhirnya, saat mendapat panggilan untuk bekerja lagi, Bu Marni mengutus putrinya untuk menggantikannya, karena ia sedang sakit.
Harmoni berjalan tanpa menghiraukan rasa haus dan laparnya. Tujuannya hanya satu, yaitu tiba di rumah Pak Handoko.
"Permisi, numpang lewat, dong!" Harmoni sedikit mendorong orang yang berdiri di depannya itu.
Bruugh ....
Pria yang ditabrak itu tersungkur, rupanya kekuatan Harmoni bisa melumpuhkan pria itu dalam sekejap.
"Astaga! Maaf, Mas. Saya tidak sengaja, saya tak bermaksud untuk membuat Mas terjatuh," kata Harmoni tulus.
"Minta maaf? Kamu sudah mendorongku, sudah mempermalukanku. Lalu sekarang kamu minta maaf? Nggak bisa!" tak disangka, dengan begitu dingin, pria itu marah dan tak mau memaafkan Harmoni.
"Saya benar-benar tak sengaja, Mas. Saya minta maaf, saya siap melakukan apapun untuk Mas, agar Mas mau memaafkan saya," kata Harmoni semakin memelas. Tujuannya untuk tiba lebih cepat di rumah Pak Handoko, kini semakin jauh.
"Serius? Kamu mau melakukan apapun?" tanya pria itu.
"Iya, Mas. Saya siap!" tegas Harmoni.
"Antarkan saya pulang, saya ini buta. Pastikan agar saya tiba di rumah dengan selamat," ucap pria itu tersenyum sinis. Harmoni kaget, dari tadi dia tak merasa kalau pria itu buta. Kini dia merasa semakin bersalah.
"Astaga, Mas, ternyata Mas ini buta, ya, kalau begitu, saya akan segera mengantarkan Mas." Harmoni lalu menuntun tangan pria itu.
Tangan kekar yang terbalut jam tangan mewah itu, membuat Harmoni sedikit ragu. 'Apa benar pria ini buta?' batinnya. Tapi Harmoni tak bisa memastikan, karena mata pria itu tertutup kacamata hitam.
"Taksi ...!" teriak Harmoni, mencoba menghentikan taksi yang melaju kencang. Tangan kirinya melambai ke arah jalan, sedangkan yang satunya lagi memegang erat tangan pria buta itu.
"Santai aja, kali, buru-buru amat," ketus pria itu, saat mendengar Harmoni terus berteriak 'Taksi'.
"Iya, Mas, soalnya setelah mengantar Mas, saya mau ke suatu tempat," jawab Harmoni. Tak lama kemudian, sebuah taksi berhenti di depan mereka.
"Sini, saya bantu, Mas." Harmoni menuntun tangan pria itu dan membukakan pintu mobil untuknya.
Taksi yang ditumpangi terus melaju, hingga tiba di depan sebuah rumah mewah bak istana.
"Stop, kita sudah sampai, kamu ikut masuk, ya?" tawar pria dingin itu mencoba sedikit ramah.
"Maaf, Mas, saya benar-benar nggak bisa. Ini sudah terlambat." Harmoni menolak halus tawaran itu. Dia hanya bisa menatap pria itu masuk rumah dengan bantuan tongkat. Hatinya sedikit terenyuh.
"Astaga ...! Aku lupa menanyakan siapa namanya? Aduh, kok aku bisa lupa, sih?" kata Harmoni setelah pria yang diantarkan itu lenyap ke dalam rumahnya.
"Jalan, Pak!" kata Harmoni lesu pada sopir taksi.
"Tujuannya kemana, Mbak?"
"Sebentar, saya cari alamatnya dulu." Harmoni mencari-cari sesuatu di dalam tasnya. Kertas yang bertuliskan alamat, dan tak terpikir olehnya untuk menghafal alamat itu.
"Astaga, alamatnya hilang! Sepertinya jatuh di tempat tadi. Pak, kita putar balik, ya. Saya mau cari di titik awal tadi, pasti jatuh di sana," kata Harmoni begitu yakin.
"Iya, Mbak."
**************
"Nah, aku bilang juga apa, jatuhnya di sini," kata Harmoni pada dirinya sendiri. Dia lalu masuk taksi tadi, dan menyerahkan selembar sobekan kertas bertuliskan alamat Pak Handoko. Taksi pun kembali melaju, memecah kepadatan jalan.
"Loh, kok berhenti di sini, Pak?" tanya Harmoni. Dia heran, sopir taksi itu menghentikan taksinya di depan gerbang yang tadi sempat didatanginya.
"Iya, Mbak. Alamat yang Mbak kasih itu, memang di sini," jelas sopir taksi.
"Oh, gitu, ya. Kalau saya tahu alamatnya di sini, kita nggak perlu susah-susah balik, ya, Pak?"
"Iya, Mbak,"
********
"Permisi ...." Harmoni melangkah pelan memasuki rumah mewah itu.
"Harmoni, ya?" tanya seorang wanita yang sepertinya menunggu kedatangan Harmoni.
"Iya, saya Harmoni, saya ke sini atas panggilan Pak Handoko," jawab Harmoni dengan sopan.
"Oh, kalau begitu, silakan masuk, Bapak sudah menunggu." Ajak wanita itu, lalu melangkah dan diikuti oleh Harmoni. Harmoni mengira-ngira, kalau wanita ini seumuran dengan Ibunya.
"Pak, Harmoni sudah tiba," ucap wanita itu menunjukkan Harmoni kepada seorang pria setengah baya yang terlihat sangat berwibawa. Nyali Harmoni menciut, begitu melihat wajah dingin pria setengah baya itu.
"Jadi, kamu yang namanya Harmoni? Perkenalkan, saya Handoko, majikan Ibu kamu dulu." Pak Handoko mengulurkan tangannya dengan ramah.
"Saya Harmoni, Pak." Jawab Harmoni menyambut uluran tangan Pak Handoko. Sungguh tak pernah terbayang dalam benak Harmoni, kalau mantan majikan Ibunya itu, sungguh ramah dan hangat.
"Jadi, begini Harmoni, semenjak berhentinya Ibu kamu menjadi asisten rumah tangga di sini, rumah ini tak pernah aman. Maksud saya, setiap ada ART baru, pasti ada saja barang atau uang hilang. Saya tak asal tuduh, rumah ini memiliki CCTV yang tak pernah ada orang tahu di mana tempatnya." Pak Handoko diam sejenak, untuk menyeruput minuman yang tersedia di atas meja.
"Jadi, saya sangat berharap, kalau kamu mau bisa bekerja di sini seperti Ibumu. Jujur dan amanah," sambung Pak Handoko sambil tersenyum sangat manis. Seperti, tersembunyi niat lain dalam senyumnya.
"Iya, Pak. Saya datang jauh-jauh ke sini memang untuk menggantikan ibu saya," jawab Harmoni.
"Baiklah kalau begitu, nanti saya perkenalkan kamu dengan orang-orang yang ada di rumah ini," kata Pak Handoko.
"Pak, pria itu tinggal di sini, juga?" tanya Harmoni mulai penasaran.
"Pria yang mana?"
"Pria yang tadi bersama saya itu,"
"Saya tidakk tahu kamu bersama siapa, Harmoni," jawab Pak Handoko bingung.
"Oh, maaf, Pak. Sepertinya saya salah orang." Harmoni menunduk, sedikit malu telah bertanya tentang pria pada majikannya.
"Iya, sudah. Ayo! Saya kenalkan dengan penghuni rumah." Pak Handoko berdiri, lalu mengajak Harmoni jalan-jalan di dalam rumah.
"Sepertinya orang-orang sedang istirahat. Kamu istirahat juga, dulu. Bawa barang-barang kamu, ya, nanti Bapak antar ke kamar kamu,"
"Iya, Pak."
**********
Malam telah tiba, ini adalah malam pertama Harmoni berada di rumah orang lain. Dia menyangka hanya dirinya yang menjadi ART di rumah itu, ternyata dugaannya salah, dia bersama sepuluh ART.
"Bu, ada berapa orang yang tinggal di rumah ini, ya?" tanya Harmoni pada rekannya sesama ART.
"Di sini, ada enam majikan, Neng. Ada Tuan Handoko, Nyonya Alexa, Aden Ridho, Aden Ihsan, Non Naomi, dan Non Friska, Neng," jelas wanita yang usianya terlihat mamasuki setengah abad itu.
"Oh, gitu, ya. Bu, maaf, ya, kalau boleh bertanya, saya memanggil Ibu, siapa, ya?" tanya Harmoni bingung.
"Panggil saja Ibu Sari, Ibu bagian memasak. Di sini ART-nya memiliki bagian masing-masing, lho, Neng," kata ART yang bernama Ibu Sari itu.
"Wah, hebat, dong. Saya bagian apa, ya, Bu?" tanya Harmoni penasaran.
"Belum ditentukan kayaknya, Neng. Sepertinya mengurus segala keperluan salah satu dari anak Pak Handoko, deh, Neng. Seperti Ibunya Neng dulu, Bu Marni," kata ibu Sari menjelaskan panjang lebar.
"Bu Sari kenal Ibu saya?" tanya Harmoni senang.
"Kenal dong, dia itu orangnya baik banget, kesayangannya Pak Handoko dan mendiang Bu Maharani," jawab Bu Sari.
"Makanan sudah matang semua, nih, Bu. Kapan mau dibawa ke ruang makan?" tanya Harmoni mengalihkan pembicaraan.
"Astaga, sampai lupa, segera dong, Neng. Bantuin Ibu bawa, ya?" pinta Bu Sari.
"Dengan senang hati, Bu." Harmoni bertugas membawa gelas dan minumannya.
Bersambung
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Kayla Herdian kembali ke masa lalu dan terlahir kembali. Sebelumnya, dia ditipu oleh suaminya yang tidak setia, dituduh secara salah oleh seorang wanita simpanan, dan ditindas oleh mertuanya, yang membuat keluarganya bangkrut dan membuatnya menggila! Pada akhirnya, saat hamil sembilan bulan, dia meninggal dalam kecelakaan mobil, sementara pelakunya menjalani hidup bahagia. Kini, terlahir kembali, Kayla bertekad untuk membalas dendam, berharap semua musuhnya masuk neraka! Dia menyingkirkan pria yang tidak setia dan wanita simpanannya, membangun kembali kejayaan keluarganya sendirian, membawa Keluarga Herdian ke puncak dunia bisnis. Namun, dia tidak menyangka bahwa pria yang dingin dan tidak terjangkau di kehidupan sebelumnya akan mengambil inisiatif untuk merayunya: "Kayla, aku tidak punya kesempatan di pernikahan pertamamu, sekarang giliranku di pernikahan kedua, oke?"
Pada hari Livia mengetahui bahwa dia hamil, dia memergoki tunangannya berselingkuh. Tunangannya yang tanpa belas kasihan dan simpanannya itu hampir membunuhnya. Livia melarikan diri demi nyawanya. Ketika dia kembali ke kampung halamannya lima tahun kemudian, dia kebetulan menyelamatkan nyawa seorang anak laki-laki. Ayah anak laki-laki itu ternyata adalah orang terkaya di dunia. Semuanya berubah untuk Livia sejak saat itu. Pria itu tidak membiarkannya mengalami ketidaknyamanan. Ketika mantan tunangannya menindasnya, pria tersebut menghancurkan keluarga bajingan itu dan juga menyewa seluruh pulau hanya untuk memberi Livia istirahat dari semua drama. Sang pria juga memberi pelajaran pada ayah Livia yang penuh kebencian. Pria itu menghancurkan semua musuhnya bahkan sebelum dia bertanya. Ketika saudari Livia yang keji melemparkan dirinya ke arahnya, pria itu menunjukkan buku nikah dan berkata, "Aku sudah menikah dengan bahagia dan istriku jauh lebih cantik daripada kamu!" Livia kaget. "Kapan kita pernah menikah? Setahuku, aku masih lajang." Dengan senyum jahat, dia berkata, "Sayang, kita sudah menikah selama lima tahun. Bukankah sudah waktunya kita punya anak lagi bersama?" Livia menganga. Apa sih yang pria ini bicarakan?
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"