/0/21578/coverbig.jpg?v=f3b8007d6c41ca25e461ca7a6ea886f7)
Masa lalu itu ibarat api kecil yang terus menyala di sudut gelap kehidupan, siap melahap segalanya ketika tersentuh. Alina, seorang wanita dengan rahasia kelam, hidup dalam ketakutan setiap hari. Dia mencintai Arya sepenuh hati, seorang duda yang begitu menjunjung tinggi kejujuran dan kehormatan. Namun, pernikahan mereka tak lepas dari goncangan. Ketika Arya mempertanyakan masa lalu Alina dan kesuciannya, hatinya bagai teriris. Haruskah Alina mengungkapkan aibnya yang tersembunyi, atau tetap bungkam demi menjaga sisa-sisa keutuhan rumah tangganya? Mampukah Arya menerima masa lalu yang bukan pilihannya, ataukan ia memilih jalan berbeda karena merasa dihianati? Masa lalu Alina mungkin telah berlalu, tapi bagi Arya, itu luka yang belum sembuh.
Malam itu, hujan turun deras, membasahi setiap sudut kota dengan gemuruh guntur yang menggetarkan jendela-jendela rumah. Di ruang tamu yang temaram, Alina duduk di atas sofa, tubuhnya diselimuti jaket tebal. Namun, dingin yang ia rasakan bukan berasal dari cuaca, melainkan dari tatapan suaminya, Arya, yang berdiri di depan jendela dengan punggung membelakanginya. Suasana begitu mencekam hingga suara detik jam dinding terdengar menggema, membuat jantung Alina berdetak semakin cepat.
"Apa benar?" Suara Arya memecah kesunyian, rendah, nyaris berbisik, tapi tajam seperti pisau yang menusuk hati. "Apa yang aku dengar itu benar, Alina?"
Alina menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gemuruh emosi yang mulai menguasainya. Ia tahu ini akan terjadi. Cepat atau lambat, kebenaran yang telah lama ia kubur akan mencuat ke permukaan. Tapi ia tidak siap. Tidak sekarang. Tidak dengan cara seperti ini.
"Arya..." Alina mencoba berbicara, namun suaranya serak. Matanya yang gelap penuh kegelisahan menatap punggung lelaki itu, berharap Arya akan menoleh dan memberinya sedikit kehangatan, sedikit pengertian. Namun, Arya tetap berdiri kaku seperti patung marmer.
"Jawab aku, Alina!" Arya berbalik, tatapannya tajam, wajahnya memerah menahan amarah. Tangannya terkepal, jemarinya bergetar, seperti seseorang yang tengah berusaha mati-matian menahan ledakan yang hampir pecah. "Apakah kau benar-benar... bukan seperti yang aku kira selama ini?"
Kata-kata itu menggantung di udara, menekan dada Alina seperti beban yang tak tertanggungkan. Ia menundukkan kepala, menatap ujung kakinya yang gemetar. Air matanya menggenang, tapi ia menolak untuk menangis. Ia tahu, tangisannya tidak akan berarti apa-apa sekarang.
"Aku bisa jelaskan, Arya..." suaranya lirih, hampir tidak terdengar.
Arya tertawa kecil, namun bukan tawa yang hangat. Itu tawa yang penuh rasa pahit dan sinis. "Jelaskan? Apa lagi yang harus dijelaskan, Alina? Fakta bahwa aku menikahi seorang wanita yang selama ini menyembunyikan sesuatu sebesar ini dariku? Atau kau ingin menjelaskan bagaimana aku selama ini percaya bahwa kau adalah orang yang berbeda?"
Kata-kata Arya menghujam hati Alina seperti panah beracun. Ia ingin menjawab, ingin membela diri, tapi lidahnya terasa kelu. Ia tahu Arya berhak marah. Ia berhak merasa dikhianati. Tapi apakah Arya juga berhak menilai dirinya hanya dari masa lalu yang sudah lama ia tinggalkan?
"Aku tidak berniat menyembunyikannya..." Alina akhirnya bersuara, meskipun dengan nada bergetar. "Aku hanya takut... Takut kau tidak akan mau menerima aku apa adanya."
"Takut?" Arya mengulangi kata itu dengan nada tajam. Ia berjalan mendekati Alina, menghentikan langkahnya hanya beberapa inci dari sofa tempat Alina duduk. "Jadi kau pikir lebih baik menipuku, ya? Membuatku percaya bahwa aku menikahi seseorang yang suci, padahal kau..."
"Berhenti!" Alina tiba-tiba berdiri, suaranya meninggi untuk pertama kalinya. Ia menatap Arya dengan mata yang berkilat, penuh air mata yang akhirnya jatuh membasahi pipinya. "Aku tahu aku salah! Aku tahu aku seharusnya memberitahumu sejak awal! Tapi aku... aku tidak tahu harus bagaimana! Aku tidak ingin kehilanganmu, Arya!"
Arya terdiam, terpaku oleh ledakan emosi Alina. Namun hanya sejenak. Wajahnya kembali mengeras, dan ia menggelengkan kepala perlahan. "Kehilangan aku? Kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk memilih, Alina. Kau mengambil keputusan itu sendiri, tanpa memikirkan apa yang aku rasakan."
Alina terisak, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Kau tidak tahu apa yang aku lalui, Arya... Kau tidak tahu bagaimana aku berjuang untuk melupakan masa lalu itu! Aku hanya ingin hidup baru, awal baru bersamamu..."
"Tapi aku berhak tahu!" Arya memotongnya dengan nada yang begitu tajam, hingga Alina terdiam. "Aku berhak tahu siapa wanita yang aku nikahi. Aku berhak tahu kebenaran tentangmu, Alina. Bukan hanya separuhnya."
"Dan jika aku memberitahumu... apakah kau akan tetap menikahiku?" Alina bertanya dengan suara kecil, hampir seperti bisikan. Ia menatap Arya dengan mata yang penuh harap, namun di balik itu ada ketakutan yang begitu besar.
Arya tidak menjawab. Ia hanya menatap Alina dengan mata yang penuh kekecewaan dan kebingungan.
Kesunyian menyelimuti mereka berdua, hanya suara hujan yang terus mengguyur di luar jendela. Arya akhirnya menghela napas panjang, membuang pandangannya ke arah lain. "Aku tidak tahu, Alina... Aku benar-benar tidak tahu."
Malam itu, api kecil yang selama ini terpendam di dalam rumah tangga mereka akhirnya menyala, menghanguskan kepercayaan yang selama ini menjadi pondasi hubungan mereka.
"Seperti janji yang terukir di batu, aku tak akan pernah mengizinkanmu pergi, Rania. Bahkan jika kau berteriak, menangis, dan memohon seolah dunia akan berakhir, aku tetap tak akan melepaskanmu." Selama tiga tahun pernikahan, Rania Alvi selalu merasa seperti bayangan di dalam rumahnya sendiri, terjebak dalam kesendirian yang semakin pekat. Suaminya, Rizky Wira, seorang pengusaha muda yang sukses dan dikenal dengan ketegasan serta sikapnya yang dingin, selalu membuat Rania merasa terasing. Terlebih lagi, Rizky adalah duda dengan seorang putra berusia tujuh tahun, dan pernikahan mereka menjadi lebih rumit dengan hadirnya Inez, mantan istri Rizky yang tidak pernah benar-benar pergi dari hidupnya. Hari-hari Rania dipenuhi dengan kesunyian yang seolah menekan napasnya. Setiap kali Inez datang mengunjungi putra mereka, Rania merasakan hatinya terhimpit. Pemandangan Rizky yang tampak lebih hangat kepada Inez daripada dirinya membuatnya hampir menyerah. Keadaan semakin memburuk ketika Rania mulai jatuh sakit; rasa sakit di tubuhnya tak bisa disangkal, tapi ia tetap mengabaikannya. Sampai pada akhirnya, dokter mengatakan bahwa Rania mengidap kanker stadium dua. Tertekan oleh beban fisik dan emosional yang semakin berat, Rania akhirnya memberanikan diri untuk menyerahkan dokumen perceraian kepada Rizky. Ia menatap suaminya yang terdiam di depan meja, tatapan kosongnya mencerminkan kekuatan yang berusaha ia pertahankan. "Rizky... aku tak bisa lagi. Aku... aku ingin kita berakhir," ucap Rania dengan suara yang bergetar, matanya basah, mencoba menunjukkan keteguhan di tengah kehancuran. Rizky menatap dokumen itu sejenak, lalu menatap Rania. Wajahnya yang tajam seketika melunak, mata gelapnya menyimpan seribu pertanyaan. Tapi tidak ada kekhawatiran. Tidak ada rasa takut. Hanya ada kekesalan yang membara di balik setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Rania, dengarkan aku. Tidak ada perceraian di antara kita, bahkan jika itu berarti aku harus memaksa dirimu untuk tetap bersamaku," Rizky berkata, suaranya tegas dengan aura yang sulit ditangkal. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Tidak sekarang, tidak pernah." Rania terdiam, napasnya serasa terhenti. Setiap kata Rizky seperti menyayat hati, mengingatkan pada kenyataan pahit yang selama ini ia coba lupakan. Di mata Rizky, ia bukan hanya sekadar istri, tetapi sebuah kewajiban yang harus dipenuhi, bahkan jika itu berarti ia harus mengikat Rania dalam kesakitan yang lebih dalam. "Rizky, aku... aku sudah tidak sanggup. Aku tidak bisa terus seperti ini, dengan hatiku yang hancur dan tubuh yang semakin rapuh. Beri aku kebebasan, izinkan aku untuk... untuk pergi," ujar Rania, suara di ujung tangis. Namun Rizky hanya memandangnya dengan tatapan yang menyakitkan, di antara keheningan yang seakan berbicara lebih keras daripada kata-kata apa pun. Ia mungkin tak akan pernah mengerti, tapi dalam keheningan itu, Rania tahu satu hal: perjuangan mereka belum selesai. Dan mungkin, hanya waktu yang akan mengungkap siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam pertempuran hati yang memilukan ini.
Jasmine Bintang terlahir dengan keterbatasan fisik yang membuatnya sulit untuk menerima dunia di sekitarnya. Tumbuh dalam keluarga yang penuh tekanan dan kerap disisihkan, Jasmine sering merasa sepi. Ibu kandungnya, Lestari, yang selalu memandangnya dengan mata penuh kecewa, menyulut rasa tidak berharga dalam dirinya. Meskipun demikian, Jasmine mencoba membangun hidup di luar bayangan kegelapan itu dengan menikahi Ardan Mahendra, seorang pria tampan dan sukses, yang memiliki karisma memikat dan senyum yang bisa menenangkan jiwa siapa pun. Namun, tak ada yang tahu bahwa Ardan, di balik senyum dan kepura-puraannya, menyimpan cinta yang jauh dari tulus. Keluarga Ardan, yang berasal dari golongan elit, memperlakukan Jasmine seperti perhiasan yang rusak, menghina dan mengabaikannya setiap kali kesempatan muncul. Meskipun Jasmine berusaha keras untuk membuktikan diri, rasa sakit itu tetap menusuk dan membuatnya ingin menyerah. Suatu hari, Anindya, wanita yang pernah menjadi cinta pertama Ardan, muncul kembali, seakan angin yang membawa badai. Dengan sikap angkuh, Anindya berdiri di depan Jasmine, mengumumkan dengan suara yang penuh keyakinan dan tawa sarkastik, "Kamu tidak pernah merasakan cinta yang sejati, bukan? Apa Ardan pernah berkata bahwa dia mencintaimu? Haha, ketika aku bersamanya dulu, setiap hari dia berkata bahwa dia tak bisa hidup tanpaku." Kata-kata itu bagaikan pisau yang menghujam jantung Jasmine. Selama ini, dia hidup dalam kebohongan, memaksa dirinya untuk percaya bahwa cinta itu nyata, meskipun semua tanda menunjukkan sebaliknya. Dalam diam, Jasmine menyadari bahwa dia telah mengorbankan kebahagiaan sejatinya demi seseorang yang tak pernah memandangnya dengan cinta tulus. Jasmine memutuskan untuk melepaskan Ardan, memberi kebebasan padanya untuk mengejar kebahagiaan yang sebenarnya. Namun, Ardan menolak untuk melepaskan Jasmine begitu saja. Dia menatap Jasmine dengan mata yang penuh amarah dan sesal, lantas mengucapkan dengan suara berat, "Mau bercerai? Tidak ada satu pun langkah yang bisa kau ambil tanpa melewati mayatku, Jasmine." Namun, dengan air mata yang menetes di pipi, Jasmine menyuarakan keinginannya dengan nada yang tidak pernah dia miliki sebelumnya. "Kita harus berpisah, Ardan. Maaf telah membuang waktu kita berdua selama ini."
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"
WARNING 21+ !!! - Cerita ini di buat dengan berhalu yang menimbulkan adegan bercinta antara pria dan wanita. - Tidak disarankan untuk anak dibawah umur karna isi cerita forn*graphi - Dukung karya ini dengan sumbangsihnya Terimakasih
Adult content 21+ Farida Istri yang terluka, suaminya berselingkuh dengan adiknya sendiri. Perasaan tersakiti membuatnya terjebak kedalam peristiwa yang membuat Farida terhanyut dalam nafsu dan hasrat. Ini hanya cerita fiktif. Kalau ada kesamaan nama, jabatan dan tempat itu hanya kebetulan belaka
WARNING 21+ HARAP BIJAK DALAM MEMILIH BACAAN! AREA DEWASA! *** Saat kencan buta, Maia Vandini dijebak. Pria teman kencan butanya memberikan obat perangsang pada minuman Maia. Gadis yang baru lulus SMA ini berusaha untuk melarikan diri. Hingga ia bertemu dengan seorang pria asing yang ternyata seorang CEO. "Akh... panas! Tolong aku, Om.... " "Jangan salahkan aku! Kau yang memulai menggodaku!"