Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / 30 Days Lover
30 Days Lover

30 Days Lover

5.0
20 Bab
3.3K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Rayhan, seorang pria yang takut berkomitmen karena trauma masa lalu, selalu membatasi hubungannya dengan perempuan hanya selama 30 hari. Namun, ketika ia bertemu dengan Alda, seorang wanita yang memiliki semua yang diinginkannya, Rayhan harus menghadapi ketakutannya dan memutuskan apakah ia akan mengambil risiko untuk cinta sejati.

Bab 1 Cinta pada Pandangan Pertama

"Aku rasa hubungan kita cukup sampai di sini, Liana," ucapku dengan nada setenang mungkin. Meski begitu jantungku berdebar kencang. Tak pernah mudah bagiku untuk mengakhiri suatu hubungan, sesingkat apapun itu.

Liana menatapku dengan mata membelalak. Garpunya yang sudah setengah terangkat ke mulut perlahan turun lagi. "Apa maksudmu, Rayhan? Kamu mau kita putus? Sekarang?" Suaranya meninggi di akhir kalimat, hingga beberapa pengunjung restoran menoleh ke arah meja kami.

Aku menghela napas panjang. Kuraih jemari Liana di atas meja, tapi dia menepisnya kasar. "Dengar, aku sudah menjelaskan dari awal kalau aku tidak bisa menjalin hubungan lebih dari 30 hari. Dan hari ini, adalah hari ke-30 hubungan kita," jelasku sabar.

"Persetan dengan aturan bodohmu itu! Aku pikir kamu sudah berubah, Rayhan. Aku pikir kamu tulus saat mengatakan sayang padaku!" Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Liana. Ia menatapku dengan sorot terluka.

Aku menggeleng pelan. "Aku tidak pernah bermaksud memberimu harapan palsu, Liana. Aku juga tidak ingin menyakitimu. Tapi aku juga tidak bisa membohongi hatiku sendiri."

"Omong kosong!" Liana menggebrak meja dengan keras, membuat piring dan gelas bergetar. "Kau pikir aku ini apa? Mainan yang bisa kau buang setelah bosan?"

"Bukan begitu, Liana. Tolong mengertilah..." Aku berusaha menenangkannya, tapi Liana keburu kalap.

Plakk! Tangannya melayang cepat menampar pipiku, keras hingga terasa panas. Aku terperangah, tak menyangka akan ditampar di depan umum begini.

Belum habis rasa terkejutku, Liana menyambar gelas anggur dan menyiramkan isinya ke wajah dan kemejaku. Cairan merah pekat itu membasahi kemeja putih yang kukenakan. Aku hanya bisa ternganga saking syoknya.

"Dasar brengsek! Aku benci padamu! Jangan pernah muncul lagi di hadapanku!" Liana berteriak histeris. Ia membanting gelas hingga pecah berhamburan di lantai, sebelum beranjak pergi meninggalkanku yang masih membeku.

Kejadiannya begitu cepat hingga aku tak sempat bereaksi. Aku hanya termangu menatap kepergian Liana dengan perasaan campur aduk. Rasa bersalah, malu, dan jengkel bercampur jadi satu. Bisik-bisik di sekelilingku terdengar bagai dengungan lebah yang mengganggu.

Aku menghela napas berat. Tak pernah mudah mengakhiri hubungan, tapi ini juga bukan pertama kalinya bagiku. Sudah puluhan wanita kucampakkan dengan cara yang sama. Biasanya aku bisa langsung menepis rasa bersalahku, tapi entah kenapa kali ini berbeda. Mungkin karena ekspresi terluka di wajah Liana, atau sorot kecewa di matanya yang tak bisa kulupakan.

Dengan langkah gontai aku beranjak dari kursiku menuju toilet. Kuabaikan pandangan menghakimi dari para pengunjung lain, juga bisik-bisik yang menyuarakan simpati pada Liana dan memakiku. Masa bodoh dengan mereka semua.

Di toilet, aku menatap bayanganku sendiri di cermin. Wajahku terlihat kacau dengan noda anggur di mana-mana. Kemeja putihku juga kini ternoda kemerahan. Sambil membasuh muka, kuhela nafas panjang dan berusaha menjernihkan pikiranku.

Benarkah yang kulakukan selama ini? Apakah aturan 30 hariku ini memang jalan hidup yang kupilih? Akankah aku selalu seperti ini, melompat dari satu hubungan ke hubungan lain tanpa pernah serius pada seorang wanita?

Bayangan wajah Mama berkelebat di benakku. Raut kecewanya saat mengetahui aku kembali memutuskan pacar. Nasihatnya yang tak pernah bosan kudengar, agar aku berhenti bermain-main dan mulai serius mencari pendamping hidup.

Tapi aku menggelengkan kepala kuat-kuat, mengusir keraguan itu. Tidak, aku sudah memilih jalanku dan akan ku jalani sebaik mungkin. Hubungan asmara hanya membawa luka, aku tak mau tersakiti lagi. Aku tak mau mengulang kesalahan Papa dan Mama.

Kuhapus sisa-sisa noda anggur sekenanya, lalu melangkah keluar toilet dengan dagu terangkat. Masa bodoh dengan mereka yang menghakimiku. Ini hidupku, aku yang berhak mengaturnya sesukaku.

Saat aku kembali ke meja, Liana sudah tidak ada. Hanya tersisa taplak meja yang basah oleh anggur, juga serpihan gelas yang berserakan. Aku mendengus kesal, terpaksa harus membereskan kekacauan yang ditinggalkannya.

Usai membayar di kasir, termasuk biaya ganti rugi gelas yang dipecahkan Liana, aku bergegas menuju pintu keluar. Aku sudah muak dengan suasana restoran ini dan ingin segera pergi.

Langkahku terhenti saat tanpa sengaja menabrak seorang wanita yang baru masuk. Aku terhuyung sedikit, tapi refleks menangkap pinggangnya agar dia tidak jatuh.

"M-maaf, aku tidak sengaja!" ucapku terbata saat menyadari posisi kami yang cukup intim. Wajahku spontan memerah dan aku bergegas melepaskan peganganku.

Tapi kemudian mataku terpaku pada sosok di hadapanku ini. Dia... wanita tercantik yang pernah kutemui! Rambut hitam panjangnya tergerai indah bak sutra, dengan wajah bak bidadari yang dihiasi sepasang mata coklat bening, hidung mancung, dan bibir mungil kemerahan. Kulitnya putih mulus bagai pualam, membuat gaun merah yang dikenakannya tampak semakin menawan.

Untuk beberapa detik aku hanya bisa terpana menatapnya, terpesona pada kecantikan dan auranya yang memukau. Sampai kemudian dia bersuara, "Tidak apa-apa, saya juga minta maaf karena jalan sambil melamun."

Astaga, bahkan suaranya pun begitu merdu! Aku jadi kehabisan kata-kata. "Eh, oh, i-iya. Mmm, kalau begitu saya permisi dulu," ucapku kikuk akhirnya, setelah berhasil menguasai diri.

Aku baru akan melangkah pergi saat si wanita cantik itu menahanku. "Tunggu! Kemejamu... terkena noda anggur?" Ia menunjuk pakaianku yang masih merah di bagian dada.

Mau tak mau aku tersenyum kecut. "Ya, tadi ada sedikit... kecelakaan," jawabku diplomatis, tak mau menjelaskan insiden memalukan dengan Liana barusan.

"Wah, pasti rasanya tidak nyaman sekali. Mungkin sebaiknya kau segera menggantinya sebelum nodanya meresap dan susah dihilangkan," sarannya prihatin.

"Ah, benar juga. Terima kasih atas sarannya, mmm..." Aku menggantung kalimatku, bingung harus memanggilnya apa.

Seolah bisa membaca pikiranku, wanita itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis. "Alda. Namaku Alda."

"Rayhan. Rayhan Mahendra," balasku cepat sambil menyambut uluran tangannya. Sentuhan kulitnya yang lembut bagai sengatan listrik kecil di sekujur tubuhku. "Senang berkenalan denganmu, Alda."

Alda tertawa kecil, memamerkan sepasang lesung pipi yang membuatnya terlihat semakin manis. "Senang juga berkenalan denganmu, Rayhan. Sayang sekali pertemuan kita harus diawali dengan tabrakan seperti ini."

"Ah, tidak apa-apa. Justru aku yang minta maaf." Aku terkekeh, entah kenapa merasa kikuk sekaligus bahagia bisa mengobrol dengannya. "Baiklah, sepertinya aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa lagi, Alda."

"Ya, sampai jumpa lagi." Alda mengangguk dan melambaikan tangan. "Semoga harimu menyenangkan, Rayhan!"

Senyumku melebar dan aku balas melambai padanya. Dengan langkah ringan kulanjutkan perjalanan menuju tempat parkir, di mana mobilku berada. Rasa kesal dan kacau setelah putus dengan Liana mendadak hilang tak berbekas, digantikan oleh euforia yang meluap-luap.

Batinku tak henti mengulang nama Alda, juga gambaran jelita parasnya. Astaga, apa yang terjadi denganku? Aku merasa seperti remaja tanggung yang sedang kasmaran! Padahal aku baru saja bertemu Alda, bahkan belum mengenalnya sama sekali.

Getaran ponsel di saku celana mengejutkanku. Ternyata dari Liana. Aku mengerutkan kening saat membaca pesan singkatnya yang penuh umpatan kasar dan makian. Tapi anehnya, aku tak merasa kesal atau bersalah seperti tadi. Pikiranku masih dipenuhi sosok Alda.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY