/0/18400/coverbig.jpg?v=221d94d5c799f9eff70399482ec117ee)
100.000 tahun lalu, telah terjadi bencana langit yang mengerikan, seolah kiamat datang menghancurkan bumi, di atas kaki sekumpulan manusia immortal yang sibuk berperang, menodai tanah oleh warna darah mereka. Theodore adalah salah satu immortal di medan perang. Dia tidak menerima kematian dari bencana tersebut, sehingga memilih melafalkan mantra kebangkitan untuk 10.000 tahun kemudian. Namun, siapa sangka dia bangkit sebagai ruh 100.000 tahun kemudian, dan berakhir pada tubuh pemuda lemah, miskin, dan selalu menjadi bahan bullying. Sehingga mau tidak mau, dia berusaha mengubah kehidupan malang tersebut, dan mengikuti keinginan si pemilik tubuh untuk menjadi seorang hunter. Hunter adalah pekerjaan berbahaya yang memburu monster demi uang. Hunter berdiri saat para monster tiba-tiba muncul dari balik tanah, kemudian sosok manusia hebat datang membunuh monster tersebut saat dunia nyaris punah, dengan manusia yang putus asa, siap menerima kematian kapan pun. Tapi, manusia hebat itu telah menyelamatkan nyawa dan memberi keberanian untuk terus hidup. Theodore begitu menginginkan pekerjaan tersebut, namun berulang kali gagal saat pendaftaran. Tapi, kali ini semuanya akan berbeda dengan tubuh Theodore yang dihuni sosok immortal, yang pada jamannya memiliki wewenang cukup kuat. Dengan kebangkitannya ini, Theodore menjalani hidup barunya.
"Sial, apa aku gagal untuk bangkit? Apa yang salah?"
Sosok pria dengan tubuh bak diselimuti sebuah cahaya itu berdiri di atas gundukan tanah. Beberapa detik lalu dia baru saja keluar dari gundukan tanah tersebut, dengan sebuah batu nisan yang namanya sudah tidak bisa dibaca lagi. Makam itu terlihat begitu tua dan tidak terurus. Banyak tumbuhan merambat yang menempel pada batu nisan, dan rumput liar tumbuh lebat di atas gundukan tanah itu.
Dan pria berselimutkan cahaya itu mengeluh dengan wajah menengadah pada langit, matanya terlihat sendu penuh oleh kekecewaan. Tubuhnya cukup tinggi dan memiliki otot yang bagus, dia berambut hitam gelap yang cukup panjang berkibar diterpa oleh angin, sedangkan matanya berwarna merah yang nyaris terlihat menyala jika berada di kegelapan.
Lagi-lagi dia mengeluh pelan, menundukkan wajahnya pada gundukan tanah itu. Burung-burung di pepohonan berlarian menjauhi makam seolah tengah ketakutan. Dia masih diam di sana, kemudian berjongkok di depan makam sambil melihat tangannya yang nyaris transparan itu.
"Berapa ratus tahun yang aku lewati, kenapa kebangkitanku seperti ini?" keluhnya lagi tidak habis pikir.
"Tubuhku sudah hancur oleh tanah. Astaga, aku tidak percaya ini akan terjadi padaku. Sepertinya Tuhan tidak mengijinkanku untuk melakukan kebangkitan. Sialan, aku benar-benar kesal. Jika seperti ini, hanya ada satu pilihan! Mencari tubuh baru, itu Menyebalkan!"
Dia terus menggerutu dengan wajah kesal bercampur kecewa, yang kemudian memilih berjalan meninggalkan makam tua tersebut dengan penuh helaan napas. Tepat setelah meninggalkan makam tuanya, dia dikejutkan oleh pemandangan kota yang mengagumkan di bawah langit jingga yang mempesona.
"Astaga, tempat apa ini?" serunya terkejut.
"Berapa lama aku mati? Apa dunia sudah benar-benar berubah?" lanjutnya tidak bisa mendapatkan jawaban.
Dia melirik pada sosok pria dengan balutan pakaian hitam yang berdiri di trotoar. Tangannya terulur hendak menyentuh pundak pria itu dan bertanya. Astaga, dia lupa siapa dirinya saat ini, sampai membuatnya cukup terkejut lantaran tangannya menembus tubuh itu.
"Astaga, yang benar saja!!!!" teriaknya penuh frustasi. Dia benar-benar sadar jika sosoknya saat ini benar-benar seperti hantu. Dan itu membuatnya lebih kecewa dari apa pun.
"Baiklah, di mana tubuh yang bisa aku gunakan?" gumamnya lagi memilih meninggalkan tempat beserta pria itu. Dia terus melihat ke sana ke mari pada pemandangan kota yang dipenuhi oleh gedung tinggi, yang saat matahari tenggelam banyak cahaya menyala di berbagai tempat, membuat tempat itu berkilau olehnya.
"Tempat ini cukup hebat," ungkapnya mengomentari kota tersebut.
"Kemarilah! Ibu akan bercerita!" Dia terhenyak saat mendengar sosok wanita yang berseru pada sejumlah anak-anak di teras rumah.
Dia memalingkan pandangannya dari gemerlap kota, melihat sekumpulan anak-anak di teras bangunan kecil yang terpagari dengan rapi. Anak-anak itu duduk rapi dengan seorang wanita tua duduk di depan.
"Ini dongeng 100.000 tahun lalu, sebelum jaman modern berdiri seperti sekarang. Hidup manusia yang disebut sebagai immortal. Mereka adalah sang abadi dengan kekuatan hebat yang bisa mengguncang dunia. Bahkan mereka bisa membunuh kita hanya dengan satu gerakan hebatnya!"
Dia kembali terperangah mendengar cerita itu. Entah mengapa itu terdengar begitu mirip dengan kehidupannya. Dia pun membawa kakinya ke tempat itu, lantas mendengarkan sebuah dongeng bersama anak-anak yang begitu antusias.
"100.000 tahun lalu terjadilah peperangan antara para immortal dalam waktu berhari-hari, mengotori tanah dengan darah mereka. Namun, sebelum ada yang memenangkan peperangan itu. Bencana datang dari langit! Petir menyambar dengan ganas menghanguskan para immortal. Bukan hanya itu, bahkan tanah pun bergoyang, air laut meluap tinggi menyapu bersih immortal di medan perang tak tersisa!" Wanita itu bercerita dengan penuh ekspresi, membuat anak-anak semakin antusias bukan main.
"Wah itu mengerikan sekali Bu!" sahut anak-anak dengan wajah ketakutan.
"100.000 tahun lalu kah?" gumamnya dengan wajah menengadah pada langit malam yang dipenuhi oleh gemerlapnya bintang. Dia kembali berjalan, sambil mengingat peperangan besar itu.
Namanya Theodore, sosok immortal yang hidup 100.000 tahun lalu dan mendapati kematian oleh kemarahan langit akibat peperangan penuh darah itu. Itu adalah cerita yang mengerikan.
100.000 tahun lalu
"Semuanya serang!!"
"Serang!!!"
Gemuruh suara kaki berlari terdengar bersahutan dengan teriakan memekakkan telinga. Detik berikutnya disusul oleh suara nyaring dari benda tajam yang saling beradu satu sama lain.
Perlahan darah mulai menetes mengubah warna tanah. Theodore memegang erat pedangnya, mengangkatkan ke atas langit, terus memberi komando ratusan pasukan untuk menyerang musuh.
Matanya merah menyala dan begitu tajam, tidak ada raut takut yang terukir di sana. Dengan perlahan Theodore mulai bergerak, dia memukul tubuh kuda yang ditungganginya dengan kaki kanannya, kemudian memacunya membuat hewan itu meringkik dan berlari.
Pedangnya mulai terayun ke beberapa arah, menebas musuhnya tanpa ampun. Darah merah berbau amis terus menodai tubuhnya. Tapi, itu tidak mengganggunya, seolah membunuh adalah hal yang biasa dia lakukan.
"Mereka terlalu kuat untuk dikalahkan dalam waktu singkat," lirih Theodore setelah tiga hari berlalu, dan pertarungan belum menunjukkan siapa pemenangnya.
"Maju! Bunuh semuanya!" teriak Theodore mulai kesal karena tidak kunjung menang.
Setelah beberapa hari berlalu, tiba-tiba langit menjadi begitu gelap padahal hari sedang cukup terik. Cahaya kilatan berwarna ungu menyambar-nyambar dengan ganas pada tanah. Justru mengenai orang-orang yang sedang bertarung.
"Ada apa ini?" tanya Theodore merasa aneh.
Petir itu jelas telah membunuh banyak orang. Kemudian disusul oleh tanah yang bergetar, bahkan di beberapa bagian terlihat retak, sehingga beberapa terperosok ke dalamnya. Ternyata itu semua belum selesai, air laut menguap dengan sangat tinggi, membuat Theodore merasakan tubuhnya bergetar.
"Ini bukan bencana, tapi ini adalah hukuman langit," lirihnya menatap langit gelap dengan petir. Air laut sudah semakin dekat. Sedang tidak ada kemungkinan adanya keselamatan.
"Sia-siakah? Langit marah dengan peperangan ini." Theodore menghembuskan napas beratnya. Dia terdiam sejenak dengan mata terpejam, sehingga tidak dapat mendengar suara panik semua orang yang berusaha menyelamatkan diri.
Mulutnya mulai bergerak, lengannya menahan petir yang menyambar dengan kuat. Tepat setelah dia selesai membaca sebuah mantra, petir itu mengenai tubuh Theodore.
"Aku akan terima kematian ini, tapi aku akan segera bangkit lagi," lirihnya yang akhirnya memejamkan matanya tanpa napas yang tersisa darinya.
Itulah yang terjadi padanya 100.000 tahun lalu, kematian yang menyebalkan baginya. Seharusnya dia bisa hidup sebagai immortal terkuat, apalagi dia memiliki pengaruh cukup besar. Tapi, lihatlah dia sekarang yang bahkan tidak memiliki tubuh, sehingga terus berjalan dengan harapan akan bertemu dengan tubuh tersebut.
"Ah, tidak heran jika dunia sudah berubah seperti saat ini. Semuanya sudah 100.000 tahun sejak bencana langit yang menghancurkan dunia itu. Dan, semua tentang immortal hanyalah dongeng pada jaman sekarang," gumamnya lagi.
Dia sudah mendapatkan jawaban yang dia cari. Namun, tetap saja itu mengejutkannya. Seharusnya dia bangkit 10.000 tahun setelah bencana langit, bukan 100.000 tahun. Dia kembali menggerutu penuh oleh kekesalan dan sumpah serapah yang seolah tidak ada habisnya.
"Sampai kapan aku harus mencari tubuh baru?!" serunya semakin menjadi-jadi.
Dia kembali menghembuskan napas beratnya, sambil terus berjalan menyusuri kota dalam keadaan malam yang cukup ramai oleh kegiatan manusia pada umumnya. Sesekali dia melihat sebuah layar pada salah satu bangunan besar dan tinggi, menampilkan sebuah gambar pertarungan dengan monster. Pemandangan itu membuat dahinya mengernyit, tentu tidak tahu itu apa, dan benda apa.
"Pertarungannya terlihat nyata?" gumamnya mengomentari. Tapi, dia tidak mau memikirkan gambar tersebut, memilih fokus untuk mencari sebuah tubuh yang bisa dia pakai.
Hingga pada akhirnya dia melihat sosok anak muda yang tubuhnya penuh oleh memar tengah meringkuk di ujung ruangan bersama beberapa anak muda lainnya yang tengah menindasnya sambil tertawa lebar. "Malang sekali anak itu," ujarnya mengasihani anak muda itu.
Rumornya, Laskar menikah dengan wanita tidak menarik yang tidak memiliki latar belakang apa pun. Selama tiga tahun mereka bersama, dia tetap bersikap dingin dan menjauhi Bella, yang bertahan dalam diam. Cintanya pada Laskar memaksanya untuk mengorbankan harga diri dan mimpinya. Ketika cinta sejati Laskar muncul kembali, Bella menyadari bahwa pernikahan mereka sejak awal hanyalah tipuan, sebuah taktik untuk menyelamatkan nyawa wanita lain. Dia menandatangani surat perjanjian perceraian dan pergi. Tiga tahun kemudian, Bella kembali sebagai ahli bedah dan maestro piano. Merasa menyesal, Laskar mengejarnya di tengah hujan dan memeluknya dengan erat. "Kamu milikku, Bella."
Nafas Dokter Mirza kian memburu saat aku mulai memainkan bagian bawah. Ya, aku sudah berhasil melepaskan rok sekalian dengan celana dalam yang juga berwarna hitam itu. Aku sedikit tak menyangka dengan bentuk vaginanya. Tembem dan dipenuhi bulu yang cukup lebat, meski tertata rapi. Seringkali aku berhasil membuat istriku orgasme dengan keahlihanku memainkan vaginanya. Semoga saja ini juga berhasil pada Dokter Mirza. Vagina ini basah sekali. Aku memainkan lidahku dengan hati-hati, mencari di mana letak klitorisnya. Karena bentuknya tadi, aku cukup kesulitan. Dan, ah. Aku berhasil. Ia mengerang saat kusentuh bagian itu. "Ahhhh..." Suara erangan yang cukup panjang. Ia mulai membekap kepalaku makin dalam. Parahnya, aku akan kesulitan bernafas dengan posisi seperti ini. Kalau ini kuhentikan atau mengubah posisi akan mengganggu kenikmatan yang Ia dapatkan. Maka pilihannya adalah segera selesaikan. Kupacu kecepatan lidahku dalam memainkan klitorisnya. Jilat ke atas, sapu ke bawah, lalu putar. Dan aku mulai memainkan jari-jariku untuk mengerjai vaginanya. Cara ini cukup efektif. Ia makin meronta, bukan mendesah lagi. "Mas Bayuu, oh,"
Warning !! Cerita Dewasa 21+.. Akan banyak hal tak terduga yang membuatmu hanyut dalam suasana di dalam cerita cerita ini. Bersiaplah untuk mendapatkan fantasi yang luar biasa..
Dua tahun lalu, Regan mendapati dirinya dipaksa menikahi Ella untuk melindungi wanita yang dia sayangi. Dari sudut pandang Regan, Ella tercela, menggunakan rencana licik untuk memastikan pernikahan mereka. Dia mempertahankan sikap jauh dan dingin terhadap wanita itu, menyimpan kehangatannya untuk yang lain. Namun, Ella tetap berdedikasi sepenuh hati untuk Regan selama lebih dari sepuluh tahun. Saat dia menjadi lelah dan mempertimbangkan untuk melepaskan usahanya, Regan tiba-tiba merasa ketakutan. Hanya ketika nyawa Ella berada di tepi kematian, hamil anak Regan, dia menyadari, cinta dalam hidupnya selalu Ella.
Rhido tak pernah menduga masa lalunya yang hitam dan kelam, ternyata sangat berpengaruh pada kehidupan rumah tangganya bersama Lisda. Wanita yang dinikahinya karena telah berhasil membuat Rhido sadar akan kesalahan masa lalunya. Ketika Rhido sedang berjuang menghilangkan jejak masa lalunya, justru halangan datang dari istrinya. Ketika sedang mengandung anak pertamanya, Lisda justru meraskan gangguan yang membuatnya selalu kesakitan saat berhubungan badan dengan suaminya. Rhido yang teramat mencintai istri dan calon anaknya, rela bertahan tidak melakukan hubungan badan dengan istrinya. Sampai akhirnya Rhido mendapat tugas kerja di daerah pedalaman Jawa Barat dan Kalimantan. Di sanalah godaan demi godaan datang silih berganti. Sanggupkah Rhido yang mantan bajingan itu bertahan dengan kesetiannya, atau malah sebaliknya. Lanas bagaimana nasib Lisda dengan anak yang baru dilahirkannya? Benarkah masa lalu Rhido yang penuh dengan aura mistis kembali menghantui dan menganggunya? Seperti apa aura dan gangguan mistis yang dia dapatkannya? Adakah pengaruhnya pada Lisda, istri sahnya?
Setelah menyembunyikan identitas aslinya selama tiga tahun pernikahannya dengan Kristian, Arini telah berkomitmen sepenuh hati, hanya untuk mendapati dirinya diabaikan dan didorong ke arah perceraian. Karena kecewa, dia bertekad untuk menemukan kembali jati dirinya, seorang pembuat parfum berbakat, otak di balik badan intelijen terkenal, dan pewaris jaringan peretas rahasia. Sadar akan kesalahannya, Kristian mengungkapkan penyesalannya. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Tolong, beri aku kesempatan lagi." Namun, Kevin, seorang hartawan yang pernah mengalami cacat, berdiri dari kursi rodanya, meraih tangan Arini, dan mengejek dengan nada meremehkan, "Kamu pikir dia akan menerimamu kembali? Teruslah bermimpi."