Unduh Aplikasi panas
Beranda / Cerita pendek / Intermezzo ( Antologi Cerpen )
Intermezzo ( Antologi Cerpen )

Intermezzo ( Antologi Cerpen )

5.0
17 Bab
462 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Kisah Cinta bisa bermula darimana saja. Dan hadir pada hati siapa saja dan kadang tanpa aba-aba.

Bab 1 Terpaksa Rela

"Aku akan menikah."

Untuk kali pertama, aku membenci kalimat yang keluar dari mulutnya. Dengan tatapannya yang teduh, dia menyodorkan sebuah undangan pernikahan bersampul biru laut itu padaku.

Tanganku bergetar saat menerimanya. Tanpa perlu aku beritahu pun, rasanya semua orang tahu kalau aku sangat kaget sekarang.

Siapa yang tidak kaget menerima undangan dari seseorang yang kita harapkan menjadi masa depan kita sendiri?

"Aku tahu ini terdengar tiba-tiba. Aku tahu kamu pasti kaget. Tapi aku benar-benar nggak punya pilihan lain selain nurutin maunya orang tua aku," ucapnya sambil sesekali menghela nafas. Aku tahu ini pasti sama beratnya untuknya.

"Kamu boleh marah sama aku, Zah. Bahkan kamu boleh pukul aku sekarang," sambungnya lagi dengan suara yang terdengar bergetar.

Aku masih diam. Aku berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menangis. Aku tak ingin tangisanku kian membebaninya.

Kuberanikan diri menatap matanya, lalu tersenyum. Walau sejujurnya kedua kelopak mataku mulai menghangat, lantaran air mata itu sudah mendesak untuk keluar.

"It's okay. Aku yakin i-ini yang terbaik buat kita," ujarku dengan suara bergetar pula. Rasanya sakit. Sangat sakit.

"Lagipula, ini nggak tiba-tiba Lukas. Soal perjodohan kamu dan keseriusan kedua orang tua kamu dengan niat mereka, kita sudah sama-sama tahu sejak tahun lalukan?"

Dia kini hanya memilih diam dan menatapku. Suasana angin malam di pesisir pantai malam ini, kian menambah sendu suasana diantara kami.

"Jadi, ini nggak tiba-tiba sama sekali."

"Maafin aku yang nggak bisa berbuat apa-apa sama hubungan kita."

"No. Kamu nggak perlu minta maaf. Kamu nggak salah. Nggak ada yang salah dengan nurutin kemauan orang tua, Lukas. Apalagi niat mereka baik." Aku harus tetap terlihat tegar, walau pada kenyataannya sangat sulit.

"..."

"A-aku yang salah, karena nggak tahu diri sejak awal. Harusnya aku nggak di sini sejak dengar kabar perjodohan kamu."

"Hei...kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Aku yang minta kamu untuk tetap nemenin aku," kata Lukas kian erat menggenggam tanganku.

"Sejak awal memang aku yang salah Lukas. Aku terlalu pengecut karena nggak bisa memperjuangkan kamu di depan orang tua aku sendiri."

"Zah...no. Kamu udah ngelakuin yang kamu bisa. Tapi memang jalannya sulit buat kita."

Air mataku mulai menetes. Aku tak sanggup lagi menahan diri untuk tidak menangis. Rasanya terlalu sakit karena harus terpisah seperti ini. Baik aku atau pun Lukas, tak akan ada yang bisa menentang takdir.

"Maafin aku, Lukas. Maaf karena aku udah terlalu banyak ngebuang waktu kamu."

"No. Aku bahagia bisa kenal kamu. Tiga tahun sama kamu, salah satu momen terbaik dalam hidup aku."

Tangisanku kian pecah. Lukas menarikku dalam pelukannya erat, mencoba menenangkanku.

Aku tahu, ini akan jadi hari terakhir kami bersama. Aku akan kehilangan Lukas.

-----

Dan...di sinilah aku sekarang, menyaksikan dari jauh betapa meriahnya resepsi pernikahan Lukas di ballroom salah satu hotel kenamaan Ibu kota.

Lukas bukannya tak mau mengundangku. Hanya saja dia tak ingin aku semakin terluka melihatnya bersama sang Istri di pelaminan. Lagipula, dia pasti tahu aku akan menolak untuk hadir.

Lalu kenapa aku ada di sini sekarang? Berdiri seperti orang bodoh di depan pintu masuk. Entahlah...aku hanya ingin melihatnya untuk kali terakhir sebagai orang yang mencintainya karena setelah ini aku harus terpaksa mengikhlaskannya.

"Zahra," panggil seseorang memecah lamunanku.

Aku bergegas mengusap air mataku yang sempat turun membasahi pipiku. "Oh, hai Gita."

Gita itu salah satu rekanku di kantor. Kami memang tidak begitu dekat, tapi dia sedikit banyak tahu soal Aku dan Lukas.

"Kamu nggak masuk?" tanya Gita hati-hati, mungkin dia khawatir pertanyaannya akan menyinggung perasaanku.

Aku menggeleng kepala pelan sambil tersenyum tipis,"Nggak. Aku cuman mampir sebentar. Kamu sendiri nggak masuk?"

Gita memandangi sebentar ke arah ruangan penuh dekorasi itu, kemudian menggeleng cepat."Kayaknya nggak deh. Lagian ke sini juga nemenin sepupu doank sih, kebetulan dia kenalannya mempelai wanita."

Aku mengangguk tanda mengerti.

"Sambil nunggu sepupu aku, mending kita ke coffeshop dekat sini aja. Gimana?"

Aku tak tahu kenapa tiba-tiba Gita begitu akrab denganku. Apa mukaku tampak begitu menyedihkan sekarang hingga butuh di hibur dan ditemani dengan secangkir kopi? May be...

***

Setibanya di coffeeshop, setelah order dan menerima pesanan kami memilih duduk di meja paling pojok persis di depan jendela. Hubungan kami yang tidak begitu dekat membuatku sedikit canggung untuk memulai pembicaraan apalagi mencari topik.

"Pasti berat banget ya, Zah?" tanya Gita tiba-tiba memecah lamunanku dan membuatku sedikit bingung.

"Soal apa?" tanyaku dengan muka cengo. Aku mendadak lemot.

Gita tersenyum kecil. Semoga saja itu bukan senyum meledek karena aku tampak seperti orang begs' tadi.

"Kamu dan...Lukas," jawab Gita tetap yang selalu hati-hati dalam berbicara, khawatir menyinggungku.

"Oh...ya. Lumayan berat. Tapi mungkin ini yang terbaik. Mau itu buat aku ataupun Lukas." Aku mencoba jujur dengan perasaan aku sendiri, walau sebenarnya aku bukan tipe orang yang nyaman bercerita dengan siapapun.

"Aku juga pernah ada di posisi kamu. Dan ngeliat kamu sekarang, ternyata kamu jauh lebih kuat daripada aku. Percaya atau nggak, dulu aku sampe ngurung diri seminggu di kamar. Ya...seterpuruk itu."

Aku memilih diam mendengarkan cerita Gita, atau lebih tepatnya curahan hati. Jujur saja, aku merasa sedikit kaget juga, karena tak menyangka bahwa Gita punya kisah yang sama denganku.

Sungguh agak tak biasa rasanya, Gita yang tiba-tiba akrab denganku, lalu Gita yang dengan santainya bercerita padaku. Ya...kita tidak sedekat itu sebenarnya. Entahlah, mungkin karena kita mengalami nasib yang sama. Yup, sama-sama di tinggal nikah.

"Lalu satu lagi, kamu sudah ikhlas? Rela?" Lagi-lagi pertanyaan Gita sukses membuatku terdiam sejenak. "Yang ada disana sekarang ternyata bukan kamu melainkan orang lain,"sambung Gita lagi, kini dengan nada suara yang lebih santai.

Aku tersenyum kecil sambil meneguk kopiku sedikit, lalu kembali meletakkan cangkirnya di atas meja." Memangnya aku punya pilihan lain?"

Gita hanya tersenyum mendengar jawabanku. Setelahnya kami terus mengobrol tentang banyak hal. Mulai dari masalah pekerjaan, hungga rumor yang sedang hangat di bicarakan di kantor.

Lagipula tak ada gunanya membicarakan Lukas atau pun masa lalu Gita lagi. Semuanya sudah berlalu. Setiap orang juga sudah punya kehidupannya masing-masing dan kebahagiaannya sendiri.

Berpisah dari Lukas memang cukup berat bagiku, tapi akan lebih berat lagi jika kami terus memaksakan hubungan yang tak mungkin mendapat restu itu. Semakin di pertahankan kita akan saling melukai satu sama lain.

Dan ya, berbahagialah Lukas. Aku juga akan menciptakan kebahagiaan aku sendiri.

***

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY