/0/14446/coverbig.jpg?v=e98db0cba49ef3591df923b870d5db5b)
Cita, dinikahi oleh Danang, pria yang usianya sepuluh tahun lebih tua darinya. Lika liku rumah tangga mereka tidaklah mudah. Cita harus menjadi tulang punggung keluarga ketika Danang kecelakaan dan menyebabkan kedua kakinya lumpuh, dan tidak mendapat penerimaan dari mertuanya. Lalu, apakah rumah tangga mereka akan bahagia?
"Cit, donatnya berapa satu dus itu?" Aku membuka kaca helm, tanganku gemetar menahan dingin.
Hujan memang sudah turun sejak pagi tadi. Biasanya jelang siang hujan reda. Namun akhir-akhir ini cuaca nggak bisa diprediksi. Sebentar panas, sebentar hujan. Kadang hujan seharian. Seperti hari ini. Namun sebagai pedagang yang baru merintis jualan donat, terpaksa harus kutembus hujan demi mengantar pesanan donat tepat waktu ke tangan pembeli.
"Dua puluh lima ribu, Bu. Isinya ada dua belas." Sahutku. Kantong kresek yang kupegang basah kuyup. Namun kupastikan isinya aman.
"Ibu mau dong. Tiga box buat nanti sore. Itu punya siapa?" Tanyanya lagi.
"Ini punya bukde Laksmi. Baik Bu, nanti Cita antar ke rumah ibu ya." Senyumku mengembang. Ini yang namanya rezeki di tengah badai.
Air hujan masih turun dari langit dengan derasnya. Sudah hampir setengah jam aku menunggu kedatangan Bude Lasmi, namun belum juga datang. Kami memang sepakat COD di depan minimarket ini.
Drrt rrrttt
Ponsel dalam saku jaketku bergetar. Mungkin dari bude Lasmi. Segera kuletakkan kantong berisi dua box donat di lantai, kemudian kurogoh ponselku.
Mas Danang...
"Halo, mas."
"Cit, kamu belum balik? Ini Tia rewel dari tadi nyariin kamu!" Terdengar suara suamiku menyatu dengan air hujan.
"Aduh gimana dong, mas. Bude Lasmi belum datang, ini!" Sahutku.
"Ya udah. Kalo sepuluh menit lagi dia nggak nongol, kamu pulang aja! Janji kok nggak ditepati!" Ujarnya.
Ya Allah...
Mas Danang mematikan telepon. Kugenggam erat ponselku. Sambil berpikir apakah aku harus menghubungi bude Lasmi atau nggak.
"Kenapa, Cit?" Tanya Bu Yanti. Kami sama-sama tengah berteduh. Namun Bu Yanti sudah lebih dulu berada disini saat aku datang tadi.
"Anu, Tia rewel. Bude Lasmi nya belum datang juga. Mungkin nunggu hujan reda." Jawabku.
"Hati-hati lho, Cit. Bu Laksmi kadang suka gitu." Gumam Bu Yanti. Aku mengernyit.
"Gitu gimana, Bu?"
"Kemarin ada kurir antar barang pesanan ke rumahnya. Eeeh dia ngumpet di rumah ibu. Bilangnya nggak ada duit buat Nebus." Jawabnya lagi membuat lututku terasa lemas. Mudah-mudahan saja ucapan Bu Yanti nggak berlaku padaku.
"Coba, sebaiknya kamu telpon dia. Buat mastiin beneran mau diambil apa nggak." Usulnya. Aku mengangguk, kemudian ku usap layar ponselku dan mencari kontak Bu Laksmi.
Kebetulan terlihat dari layar bagian atas, bude Lasmi tengah online.
Tuuuut tuuuut
Suara panggilan dariku tidak jawabnya. Sementara Bu Yanti tak lepas menatapku dan ponsel di tangan secara bergantian.
"Gimana?" Aku menggeleng lemas.
"Apa ibu bilang! Coba kirim pesan." Aku lagi-lagi mengangguk.
[Assalamualaikum, bude. Ini Cita udah di depan Ind*mart. Bude jadi datang 'kan?]
Terkirim.
Selang beberapa menit kemudian, ponselku bergetar.
[Masih hujan. Kamu tunggu aja.]
Balasnya.
Lalu kusampaikan pada Bu Yanti.
"Hamdalah, sebaiknya kamu bilang ta antar saja ke rumahnya." Usul Bu Yanti kemudian. Dan lagi-lagi ku anggukan kepala.
[Bude kalau sekiranya hujan, biar Kita antar ke rumah bude saja, ya.]
Aku menatap cemas layar ponselku. Tanpa keluar dari chat bude Lasmi.
[Ndak usah. Bude lagi dijalan, mungkin baru sampai dua jam lagi. Kamu bawa pulang lagi aja donatnya. Nanti bude ambil ke rumahmu.]
Jawaban bude Lasmi membuat persendian di tubuhku terasa lemas. Ingin rasanya menangis, namun tentu saja itu nggak mungkin.
"Apa katanya?"
Aku tak menjawab, malah kuulurkan ponselku pada Bu Yanti agar dia membacanya sendiri. Bu Yanti menggelengkan kepala sambil menyerahkan ponselku kembali.
"Apa ibu bilang! Di jalan mana, coba! Orang dari semalam dia mengeluh suaminya belum gajian, kok! Ya sudah, itu donat biar ibu aja yang beli. Kasihan kamu, belum tentu dia beneran datang." Bu Yanti merogoh dompet dari dalam tasnya, kemudian mengeluarkan selembar uang seratus ribuan.
"Ini." Lalu menyerahkannya padaku.
"Tapi Bu, Cita nggak ada kembalian. Sebentar Cita tukar dulu ke kasir." Sahutku.
"Ndak usah. Kamu pegang aja, buat nanti kalau-kalau ibu pesan lagi. Nanti sore Ndak jadi bikin ya. Kan udah ada, ini." Jawabnya. Kemudian mengambil kantong kresek donat pesanan bude Lasmi.
"Masha Allah Bu, matur nuwun sanget. Makasih banyak ya Bu. Mudah-mudahan ibu suka sama donatnya." Ujarku sambil menyeka air mata yang tiba-tiba meluncur dari mata ini.
"Iya sama-sama. Ya udah, sana pulang. Kasihan anakmu." Senyum Bu Yanti. Aku mengangguk.
Hujan masih turun dengan derasnya. Namun aku harus segera pulang sebelum mas Danang kehilangan kesabarannya.
*
Namaku Cita. Seorang ibu rumah tangga dengan satu anak yang masih berusia dua tahun. Usiaku belum genap dua puluh tahun, ketika mas Danang menikahi aku. Suamiku sendiri sudah berusia tiga puluh tahun kala itu. Mas Danang adalah anak ketiga dari saudagar cengkeh yang ternama di kampung kami.
Banyak yang menebak, pernikahan kami semata karena aku hanya mengincar kekayaannya. Meski nyatanya, kami memang saling mencintai meski usia kami terpaut cukup jauh.
Kami hidup bahagia. Mas Danang bekerja memantau kebun cengkeh milik orangtuanya. Dan kebahagiaan kami semakin bertambah ketika hadirnya Tia dalam rahimku, di usia pernikahan kami yang ke empat tahun. Penantian yang cukup panjang. Bahkan tak sekali dua kali, ibu mertua dan kakak iparku menyarankan mas Danang untuk menikah lagi.
Namun kekuatan cinta kami mengalahkan ujian itu. Sekaligus menghentikan usaha keluarga mas Danang yang mengompori agar ia menikahi wanita lain.
*
Aku tiba di rumah dengan tubuh sangat menggigil. Dari luar terdengar Tia menangis hingga suaranya parau. Segera kulepas helm serta jaket hujan. Dan menaruhnya sembarang. Tak lupa ku tenteng kantong kresek berisi sayur dan telur. Tadi, sempatkan mampir ke warung untuk belanja.
"Ya Allah mas, itu Tia Sampai kejer gitu!" Segera aku berlari ke kamar. Tia berlari menghambur ke dalam pelukanku. Seluruh wajahnya basah oleh keringat dan airmata.
"Cup cup sayang. Ini mama. Tadi Ade bobo makanya nggak mama ajak. Di luar juga hujan. Cup sayang." Kuangkat tubuh kecil Tia lalu kugendong dan membawanya keluar kamar.
Mas Danang melirik pada kami sekilas, lalu kembali membuang muka. Menatap keluar rumah dengan wajah sendu.
Kuhela napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya pelan. Kutinggalkan suamiku ke dapur. Untuk memasak bakal makan malam kami.
"Ade tunggu disini ya, kita masak-masakan." Kubujuk Tia dan mendudukkannya di atas ubin yang sebelumnya kuhamparkan karpet busa bergambar Masha and the bear. Awalnya Tia menolak, memeluk leherku begitu kuat. Tapi kemudian mengangguk setelah dipotong ujung batang kangkung dan menaruhnya di wadah plastik.
Tak butuh waktu lama, Tia terlihat riang menirukan gerakan tanganku. Memotong batang kangkung dengan pisau mainannya.
"Cita! Aku mau ke kamar mandi!" Seruan mas Danang terdengar. Ku Kecilkan kompor, lantas memberitahu Tia agar menunggu. Tia mengangguk.
Putriku sebetulnya tidak rewel. Hanya sesekali waktu ia merajuk, jika bangun tidur tak melihat keberadaanku.
Kuhampiri mas Danang, lalu ku ukir senyum meski jiwa raga ini begitu lelah. Kemudian segera aku berjongkok. Tangan mas Danang terulur meraih pundakku. Dengan segenap tenaga, aku berdiri setelah tubuh mas Danang berada di punggungku. Kuseret langkah tertatih membawa suamiku ke kamar mandi.
Kedua orang yang memegangi ku tak mau tinggal diam saja. Mereka ingin ikut pula mencicipi kemolekan dan kehangatan tubuhku. Pak Karmin berpindah posisi, tadinya hendak menjamah leher namun ia sedikit turun ke bawah menuju bagian dadaku. Pak Darmaji sambil memegangi kedua tanganku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Tanpa rasa jijik mencium bibir yang telah basah oleh liur temannya. Melakukan aksi yang hampir sama di lakukan oleh pak Karmin yaitu melumat bibir, namun ia tak sekedar menciumi saja. Mulutnya memaksaku untuk menjulurkan lidah, lalu ia memagut dan menghisapnya kuat-kuat. "Hhss aahh." Hisapannya begitu kuat, membuat lidah ku kelu. Wajahnya semakin terbenam menciumi leher jenjangku. Beberapa kecupan dan sesekali menghisap sampai menggigit kecil permukaan leher. Hingga berbekas meninggalkan beberapa tanda merah di leher. Tanganku telentang di atas kepala memamerkan bagian ketiak putih mulus tanpa sehelai bulu. Aku sering merawat dan mencukur habis bulu ketiak ku seminggu sekali. Ia menempelkan bibirnya di permukaan ketiak, mencium aroma wangi tubuhku yang berasal dari sana. Bulu kudukku sampai berdiri menerima perlakuannya. Lidahnya sudah menjulur di bagian paling putih dan terdapat garis-garis di permukaan ketiak. Lidah itu terasa sangat licin dan hangat. Tanpa ragu ia menjilatinya bergantian di kiri dan kanan. Sesekali kembali menciumi leher, dan balik lagi ke bagian paling putih tersebut. Aku sangat tak tahan merasakan kegelian yang teramat sangat. Teriakan keras yang tadi selalu aku lakukan, kini berganti dengan erangan-erangan kecil yang membuat mereka semakin bergairah mengundang birahiku untuk cepat naik. Pak Karmin yang berpindah posisi, nampak asyik memijat dua gundukan di depannya. Dua gundukan indah itu masih terhalang oleh kaos yang aku kenakan. Tangannya perlahan menyusup ke balik kaos putih. Meraih dua buah bukit kembarnya yang terhimpit oleh bh sempit yang masih ku kenakan. .. Sementara itu pak Arga yang merupakan bos ku, sudah beres dengan kegiatan meeting nya. Ia nampak duduk termenung sembari memainkan bolpoin di tangannya. Pikirannya menerawang pada paras ku. Lebih tepatnya kemolekan dan kehangatan tubuhku. Belum pernah ia mendapati kenikmatan yang sesungguhnya dari istrinya sendiri. Kenikmatan itu justru datang dari orang yang tidak di duga-duga, namun sayangnya orang tersebut hanyalah seorang pembantu di rumahnya. Di pikirannya terlintas bagaimana ia bisa lebih leluasa untuk menggauli pembantunya. Tanpa ada rasa khawatir dan membuat curiga istrinya. "Ah bagaimana kalau aku ambil cuti, terus pergi ke suatu tempat dengan dirinya." Otaknya terus berputar mencari cara agar bisa membawaku pergi bersamanya. Hingga ia terpikirkan suatu cara sebagai solusi dari permasalahannya. "Ha ha, masuk akal juga. Dan pasti istriku takkan menyadarinya." Bergumam dalam hati sembari tersenyum jahat. ... Pak Karmin meremas buah kembar dari balik baju. "Ja.. jangan.. ja. Ngan pak.!" Ucapan terbata-bata keluar dari mulut, sembari merasakan geli di ketiakku. "Ha ha, tenang dek bapak gak bakalan ragu buat ngemut punyamu" tangan sembari memelintir dua ujung mungil di puncak keindahan atas dadaku. "Aaahh, " geli dan sakit yang terasa di ujung buah kembarku di pelintir lalu di tarik oleh jemarinya. Pak Karmin menyingkap baju yang ku kenakan dan melorotkan bh sedikit kebawah. Sayangnya ia tidak bisa melihat bentuk keindahan yang ada di genggaman. Kondisi disini masih gelap, hanya terdengar suara suara yang mereka bicarakan. Tangan kanan meremas dan memelintir bagian kanan, sedang tangan kiri asyik menekan kuat buah ranum dan kenyal lalu memainkan ujungnya dengan lidah lembut yang liar. Mulutnya silih berganti ke bagian kanan kiri memagut dan mengemut ujung kecil mungil berwarna merah muda jika di tempat yang terang. "Aahh aahh ahh," nafasku mulai tersengal memburu. Detak jantungku berdebar kencang. Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh, mendapatkan rangsangan yang mereka lakukan. Tapi itu belum cukup, Pak Doyo lebih beruntung daripada mereka. Ia memegangi kakiku, lidahnya sudah bergerak liar menjelajahi setiap inci paha mulus hingga ke ujung selangkangan putih. Beberapa kali ia mengecup bagian paha dalamku. Juga sesekali menghisapnya kadang menggigit. Lidahnya sangat bersemangat menelisik menjilati organ kewanitaanku yang masih tertutup celana pendek yang ia naikkan ke atas hingga selangkangan. Ujung lidahnya terasa licin dan basah begitu mengenai permukaan kulit dan bulu halusku, yang tumbuhnya masih jarang di atas bibir kewanitaan. Lidahnya tak terasa terganggu oleh bulu-bulu hitam halus yang sebagian mengintip dari celah cd yang ku kenakan. "Aahh,, eemmhh.. " aku sampai bergidik memejam keenakan merasakan sensasi sentuhan lidah di berbagai area sensitif. Terutama lidah pak Doyo yang mulai berani melorotkan celana pendek, beserta dalaman nya. Kini lidah itu menari-nari di ujung kacang kecil yang menguntit dari dalam. "Eemmhh,, aahh" aku meracau kecil. Tubuhku men
Kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal mati suaminya. Widya Ayu Ningrum (24 Tahun) Mulustrasi yang ada hanya sebagai bentuk pemggambran imajinasi seperti apa wajah dan bentuk tubuh dari sang pemain saja. Widya Ayu Ningrum atau biasa disapa Widya. Widya ini seorang ibu rumah tangga dengan usia kini 24 tahun sedangkan suaminya Harjo berusia 27 tahun. Namun Harjo telah pergi meninggalkan Widy sejak 3 tahun silam akibat kecelakaan saat hendak pulang dari merantau dan karna hal itu Widya telah menyandang status sebagai Janda di usianya yang masih dibilang muda itu. Widya dan Harjo dikaruniai 1 orang anak bernama Evan Dwi Harjono
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"
Selama sepuluh tahun, Delia menghujani mantan suaminya dengan pengabdian yang tak tergoyahkan, hanya untuk mengetahui bahwa dia hanyalah lelucon terbesarnya. Merasa terhina tetapi bertekad, dia akhirnya menceraikan pria itu. Tiga bulan kemudian, Delia kembali dengan gaya megah. Dia sekarang adalah CEO tersembunyi dari sebuah merek terkemuka, seorang desainer yang banyak dicari, dan seorang bos pertambangan yang kaya raya, kesuksesannya terungkap saat kembalinya dia dengan penuh kemenangan. Seluruh keluarga mantan suaminya bergegas datang, sangat ingin memohon pengampunan dan kesempatan lagi. Namun Delia, yang sekarang disayangi oleh Caius yang terkenal, memandang mereka dengan sangat meremehkan. "Aku di luar jangkauanmu."
WARNING 21+ HARAP BIJAK DALAM MEMILIH BACAAN! AREA DEWASA! *** Saat kencan buta, Maia Vandini dijebak. Pria teman kencan butanya memberikan obat perangsang pada minuman Maia. Gadis yang baru lulus SMA ini berusaha untuk melarikan diri. Hingga ia bertemu dengan seorang pria asing yang ternyata seorang CEO. "Akh... panas! Tolong aku, Om.... " "Jangan salahkan aku! Kau yang memulai menggodaku!"
"Kita adalah dua orang yang tak seharusnya bersama," lirih Xena pilu. Morgan menarik dagu Xena dan berdesis, "Sejak awal, kita memang sudah ditakdirkan bersama." Xena Foster terkenal dengan kehidupan glamour dan selalu berfoya-foya. Bagi Xena, dirinya tak perlu bekerja susah payah, karena selama ini gadis itu selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Hidup Xena memang selalu menjadi idaman para gadis di luar sana. Sempurna dan tak memiliki celah kekurangan. Namun, siapa sangka semua itu berubah di kala Xena bertemu dengan Morgan Louise—sosok pria tampan yang mampu menggetarkan hatinya, bahkan membangkitkan hasrat memilikinya. Morgan telah berhasil, membuat Xena tergila-gila pada pria itu. Sayang, perasaan cinta Xena telah terjebak pada kenyataan pahit tentang Morgan Louise. Kenyataan yang telah menghancurkannya. Bagaikan di ambang jurang, mampukah Xena bertahan? *** Follow me on IG: abigail_kusuma95