/0/13034/coverbig.jpg?v=ce6c6aa6c8fd96108f263270b50eb966)
Beginilah kalau berumah tangga tidak bisa membedakan antara hak dan kewajiban. Tinggal di rumah mertua, seperti tinggal di neraka. Di perlakukan seperti pembantu serta hinaan kerap keluar dari mulut ibu mertua dan ipar. Dalam keadaan seperti ini, apakah Yulia akan tetap bertahan tinggal seatap dengan mertua dan ipar, demi mempertahankan biduk rumah tangga bersama lelaki pilihannya.
"Nung, lihat tu istrimu beli baju daster lagi. Bukanya menghemat pengeluaran, ini malah berlagak sok kaya. Tiap hari belanja baju." cerocos ibu mertua saat mas Hanung baru saja pulang kerja.
Mulai deh ibu mertua, sebentar lagi adik ipar pasti ikut mengompori. Setiap hari penghuni rumah ini selalu berdebat tidak penting. Masa beli baju seharga tiga puluh lima ribu aja dipermasalahkan. Walau sudah biasa, tetap saja kuping ini panas. masalah kecil bisa besar kalau ada sesuatu yang tak disukai dariku.
"Benarkah, Bu? Padahal bulan ini banyak pengeluaran." ucap Mas Hanung.
"Diminum dulu kopinya, Mas! Aku mau lanjut lipet baju dulu." aku beranjak dari tempat duduk, ingin masuk ke dalam kamar.
"Tunggu, Yul!"
Firasat ku jadi tidak enak.
Aku membalikkan badan menatap mas Hanung yang duduk bersebelahan dengan ibunya. Ini pasti akan membahas soal uang dan juga baju daster yang harganya di bawah lima puluh ribu. Tapi, aku sama sekali tidak takut. Toh aku tidak merugikan mereka kok.
"Kenapa setiap bulan kamu harus beli baju? tanya mas Hanung sebelum menyeruput kopi.
"Baju murah aja kok dibahas sih, mas. Lagian baju rumahanku banyak yang robek." jawabku.
"Sudah ku bilang jangan terlalu boros! Mending uangnya dipakai buat kebutuhan lainnya. Ini malah menghambur uang buat hal tidak penting." suara mas Hanung terdengar lantang. urat lehernya sampai timbul saat berucap.
Kalau baju yang dulu masih banyak yang bagus, tidak mungkin aku beli lagi. Perasaan Mas Hanung juga sering lihat kalau daster rumahanku hampir semua robek dibagian ketiak dan juga banyak bekas tambal sulamnya.
"Tidak penting itu menurut kamu, mas. Tapi sangat penting bagiku. Karena, tidak mungkin aku keluar rumah dengan daster bolong. Yang ada auratku kelihatan." jawabku.
"Kan masih banyak pakaian yang belum robek, mbak." saut Meli--adik iparku.
Tuh kan, iparku mulai mengibarkan bendera peperangan. Siap-siap saja perang mulut.
"Tidak mungkin aku beli baju kalau masih ada yang layak dipakai keluar rumah, Mel. Kalaupun aku memakai uang mas Hanung buat beli daster. Terus, apa masalahnya sama kamu? Toh, ini kewajibannya sebagai suami." timpalku tak mau kalah.
"Pemilik konter di ujung sana juga bilang, kalau mbak Yulia hampir setiap hari beli kuota. Buat apa lagi kalau bukan buat cari-cari mangsa di fb." dasar Meli, mulutnya licin sekali saat berucap.
Memang benar sih, hampir tiap hari aku beli kuota. Karena belinya ketengan dan masa aktifnya hanya dua puluh empat jam. Mau beli yang bulanan uang aku belum cukup. Lagian ini buat berdagang, bukan buat hal yang tidak penting kok.
"Benarkah yang dikatakan, Meli?" tanya mas Hanung dengan alis bertaut. Sudah pasti dia mulai kepanasan akibat ulah mulut iparku.
"Iya, mas. Memang benar apa yang dikatakan, Meli. Setiap hari aku beli kuota di konter. Tapi tidak benar kalau aku mencari masa di fb." jelas ku
"Alah, ngaku aja kenapa sih, mbak. Aku juga sering mergokin Mbak Yuli senyum-senyum sendiri saat mainan hp." Meli semakin membuat suasana menjadi panas. Ku lirik mas Hanung seperti menahan amarah mendengar ocehan adiknya.
"Sudahlah, Yul, kalau salah jangan membantah! Lagian buat apa mainan fb seperti anak muda saja. Tidak ada gunanya, boros jadinya. Belum lagi buat beli baju setiap bulan. Yang ada uang Hanung habis dipakai kamu sendiri."
Ibu mertua terus melontarkan ucapan pedas. Membenarkan perkataan Meli tanpa mencari tahu terlebih dulu.
"Lagian kalau aku belanja kebutuhan pribadiku, itu pakai uang ku sendiri, Mas." kesal rasanya mendengar ocehan tiga mulut di rumah ini. Kalau tidak bersalah kenapa harus takut.
"HAHAHAHAHA, wanita yang kerjaanya cuma nyuci, nyapu dan memasak itu dapat penghasilan dari mana? Jangan mengada-ada deh, mbak!" ucapan Meli semakin keterlaluan. tapi, aku masih berusaha sabar. Biarkan saja mereka tertawa saat ini.
Yang membuatku semakin kesal adalah sikap Mas Hanung, seolah dia membenarkan ucapan adiknya, bahkan ikut terbahak saat Meli mengejekku.
Terpaksa aku menunjukkan bukti, kalau selama ini aku memang berjualan secara online dan tanpa modal sedikitpun. Supaya mas Hanung, ibu dan juga Meli tahu apa saja yang kulakukan dengan hp ini.
"Sejak kapan kamu berjualan seperti ini?" tanya Mas Hanung, suaranya mulai melunak setelah melihat bukti yang ku perlihatkan.
Sebelum menjawab, aku melirik Meli dan ibu bergantian."Satu bulan setelah kita menikah, Mas."
Mas Hanung terpaku mendengar jawabanku. Memang selama ini tidak ada yang tahu tentang pekerjaan yang ku geluti. Sebagai jasa penjualan secara online, tanpa modal dan tanpa harus turun tangan menerima barang lalu mengantarkan pada pembeli. Cukup mempromosikan lewat sosmed saja.
"Jangan percaya sama bualanya! Kalau memang punya penghasilan, kenapa masih menengadahkan tangan pada Hanung." ucapan ibu mertua begitu menyayat hati.
"Itu sudah menjadi tanggung jawab mas Hanung, Bu. Kalau masalah penghasilan yang kudapat. Kalian tidak berhak tahu." kesal mengalah terus. Akan kujawab apapun yang dilontarkan dari mulut mereka bertiga.
"Itu namanya tak tahu diuntung! Punya uang bukannya meringankan beban suami malah dipakai buat memenuhi kebutuhan sendiri." Bukannya menghargai, ucapan mas Hanung begitu sakit didengar. ibarat kata, ia telah menabur garam ke atas luka yang disayat ibunya. Perih sekali rasanya.
Lagian selama ini aku tidak pernah memakai uang suami untuk keperluan pribadi. Jadi buat apa merasa minder meski pada mencemooh.
"Memenuhi kebutuhan sendiri bagaimana maksud kamu, mas? aku menerima uang sebesar satu juta lima ratus dari kamu, setiap bulanya. Buat bayar listrik dua ratus ribu dan buat beli beras, minyak, gula, kopi. Totalnya tujuh ratus ribu. Belum lagi ibu minta jajan tiap hari, kalau di kumpulin hampir empat ratus ribu sebulannya." sengaja ku perjelas agar mas Hanung tahu kemana saja uang bulanan yang aku pegang.
Tentu saja aku kesal, beli daster tiga puluh lima ribu saja di permasalahkan. Itupun pakai uang ku sendiri dari hasil melototi Hp setiap hari.
"Kenapa jadi perhitungan sama, ibu?" tanya mas Hanung.
"Lihat kelakuan istri kamu, Nung! Dia sudah pandai mengarang cerita demi mendapatkan perhatian dari kamu, mmmmm." Kok bisa tiba-tiba ibu mengeluarkan air mata. Padahal belum ada satu menit suaranya masih terdengar lantang saat menghinaku.
"Aku bukan perhitungan, Bu. Kalau perhitungan sudah dari dulu kali, aku mengatakan ini didepan mas Hanung. Kali ini terpaksa karena kalian mengeroyokku dengan tuduhan yang tak terbukti." sanggah ku, diam saat terinjak itu bukan solusi. demi menjaga jiwa tetap waras, maka melawan adalah pilihan terakhir.
"Sudahlah, aku capek mau mandi." Mas Hanung beranjak dari tempat duduk, lalu berjalan menuju kamar mandi.
BERSAMBUNG.
Terima Kasih Atas Hinaanmu!
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?
Dokter juga manusia, punya rasa, punya hati juga punya birahi
"Meskipun merupakan gadis yatim piatu biasa, Diana berhasil menikahi pria paling berkuasa di kota. Pria itu sempurna dalam segala aspek, tetapi ada satu hal - dia tidak mencintainya. Suatu hari setelah tiga tahun menikah, dia menemukan bahwa dia hamil, tetapi hari itu juga hari suaminya memberinya perjanjian perceraian. Suaminya tampaknya jatuh cinta dengan wanita lain, dan berpikir bahwa istrinya juga jatuh cinta dengan pria lain. Tepat ketika dia mengira hubungan mereka akan segera berakhir, tiba-tiba, suaminya tampaknya tidak menginginkannya pergi. Dia sudah hampir menyerah, tetapi pria itu kembali dan menyatakan cintanya padanya. Apa yang harus dilakukan Diana, yang sedang hamil, dalam jalinan antara cinta dan benci ini? Apa yang terbaik untuknya?"
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..