/0/2618/coverbig.jpg?v=b2dfc7a3ec1e1acd4bb2a4a9424544f4)
Adinda terpaksa menerima tawaran untuk menikah dengan laki-laki bernama Alvin, demi dapat membayar biaya rumah sakit Alvaro, kekasih yang terbaring koma di rumah sakit. Semua menjadi pelik saat Adinda tahu ternyata Alvin bukanlah seorang single. Dan tugas Adinda dalam pernikahan ini adalah membantu Alvin untuk melupakan istrinya. Kepelikan itu makin menjadi saat misi Adinda menaklukan hati Alvin berhasil, tetapi di saat bersamaan Alvaro sadar dari komanya. Jadi, siapakah yang harus Adinda pilih? Alvin, dengan risiko menjadi yang kedua? Atau Alvaro, dengan risiko menghadapi keluarga laki-laki itu yang tidak pernah menyukai keberadaannya?
Adinda menatap kosong taman rumah sakit yang terlihat sepi, karena memang jam besuk sudah berakhir sejak 2 jam yang lalu. Di antara kekosongan yang menghias, tampak juga kebingungan di netra dengan warna cokelat itu. Di saat seperti ini, ia benar-benar merasa sendiri, dan sama sekali tidak memiliki teman. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat ia berlari pun sudah tidak lagi ada. Ia anak tunggal, dan kedua orangtuanya sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu.
Adinda hidup seorang diri di kota yang banyak orang bilang lebih kejam dari ibu tiri ini. Gajinya menjadi seorang pelayan kafe, tentu saja tidak akan cukup untuk membayar tagihan rumah sakit yang sudah amat membengkak.
"Maaf Mbak, tapi jika Mbak Dinda tidak bisa melunasinya besok, terpaksa kami akan mencabut segala fasilitas yang kami berikan pada pasien."
Wanita dengan surai lembut sepanjang punggung itu memejamkan mata. Menarik napasnya yang begitu sesak. Apa yang harus ia lakukan dengan ini semua? Siapa yang bisa ia mintai tolong?
"Kamu yang menyebabkan anak kami terbaring koma di rumah sakit! Jadi kami harap kamu akan bertanggung jawab dan tidak lepas tangan begitu saja!"
Napas yang terasa sesak itu kian bertambah sesak. Nyatanya kalimat yang ibu Alvaro katakan itu benar. Alvaro, laki-laki yang menjadi kekasihnya selama satu tahun belakangan ini mengalami kecelakaan karena dirinya. Andai hari itu Alvaro tidak bertengkar dengan kedua orang tuanya, dan tidak kabur demi memilihnya, tentu saja hal semacam ini tidak akan pernah terjadi. Andai saja saat ibu Alvaro datang, dan memintanya mundur hari itu, dia memilih mundur, mungkin saja Alvaro tidak akan terbaring di ranjang rumah sakit seperti sekarang ini. Andai saja- Adinda kembali mengembus napas lirih, mencoba untuk kuat karena semua kata andai itu telah menjadi percuma.
Sekarang, yang perlu ia lakukan adalah membayar tagihan rumah sakit, agar Alvaro bisa sembuh. Namun, lagi-lagi ia bingung dari mana mendapatkan uang dengan nominal yang tidak bisa dikatakan sedikit itu?
Adinda memejamkan mata, mencoba berpikir, dan- surat rumah. Apa dia harus menjual rumah peninggalan orang tuanya?
"Boleh saya numpang duduk?" Pertanyaan itu membuyarkan semua pemikiran yang kini memenuhi kepala Adinda. Ia menoleh dan segera melempar senyuman ramah pada seorang wanita yang kini berdiri di sampingnya.
"Silahkan Tante," ujar Adinda sembari menggeser duduk agar wanita yang berusia sekitar enam puluh tahun itu bisa duduk.
"Siapa yang sakit?" tanya wanita itu, membuat Adinda urung untuk kembali memikirkan rencana menjual rumahnya.
"Teman, Tante," jawab Adinda kikuk. Merasa tidak nyaman jika menyebut pacar.
"Pacar, ya?" tebak wanita itu dengan senyuman lembut, tidak ada nada nyinyir ataupun sok tahu, yang membuat Adinda akhirnya mengangguk.
"Sakitnya parah, kamu keliatan sedih gitu?"
Jika dalam kondisi hati yang baik, mungkin Adinda akan memilih pamit, daripada meladeni wanita yang mulai kepo dengan apa yang ia alami ini. Namun, keadaannya sedang sangat membingungkan, dan sepertinya Adinda perlu teman untuk sekadar berbagi cerita. Toh, wanita di sampingnya ini tidak ia kenal. Mungkin tidak masalah untuk sekadar berbagi resah.
"Sudah dua minggu koma, dan sampai sekarang belum sadar." Adinda memberikan sebuah senyuman, yang malah terlihat menyedihkan.
"Dan jika besok saya belum membayar tagihan, semua pengobatan akan dihentikan," bisik Adinda lagi dengan wajah sendu.
"Kenapa kamu yang menanggung? Memang keluarga tidak ada?"
Adinda menunjukkan senyum kecut, dan seharusnya ia berhenti saat itu juga. Bukan malah membeberkan apa yang terjadi. Entahlah, mungkin Adinda sudah terlalu lelah dan putus asa. Atau mungkin, karena sorot mata wanita ini tidak terlihat menghakimi.
"Kok ada ya keluarga kayak gitu? Ini kan menyangkut nyawa anak mereka? Apa mereka nggak mikir andai kamu nggak bisa bayar?" Adinda hanya tersenyum mendengar semua kalimat bernada marah itu. Ia merasa, seolah ibunya kini ada di sini untuk memberinya kekuatan.
"Makasih Tante, sudah mau mendengar curhatan saya," ujar Adinda dengan senyuman tulus. Jujur, hatinya mulai membaik, dan sepertinya ia memang harus menjual rumahnya untuk membayar tagihan rumah sakit.
"Kamu mau ke mana?" tanya wanita itu saat Adinda bangkit dari duduknya.
"Saya sepertinya sudah menemukan solusi masalah saya, Tante," jawab Adinda dengan senyum mengembang. Ia ingat salah satu tetangganya pernah menawar rumah peninggalan orangtuanya itu. Mungkin sekarang belum terlambat untuk menawarkannya.
"Boleh Tante tahu, apa itu?" Entah mengapa wanita itu merasa khawatir. Ia takut wanita muda di sampingnya ini melakukan hal nekad.
"Saya punya rumah peninggalan orang tua saya. Rasanya itu akan cukup untuk membayar tagihan rumah sakit. Lebihnya bisa saya pakai untuk menyewa kontrakan," jelas Adinda tanpa beban. Seolah memang itu jalan yang terbaik.
"Orangtua kamu sudah meninggal?" Dan saat anggukan kepala yang ia dapat sebagai jawaban, wanita itu merasakan kepedihan yang luar biasa.
"Saya permisi dulu ya, Tante. Mau nawarin ke tetangga saya. Waktu itu dia mau, siapa tahu masih berminat."
"Tunggu!" Namun, langkahnya terpaksa terhenti saat wanita dengan penampilan elegan itu menahan lengannya. "Siapa nama kamu?"
"Saya Adinda, Tante," jawab Adinda dengan wajah bingung.
"Kamu anak baik."
Adinda tersenyum manis saat mendengar pujian itu. "Terima kasih," bisiknya masih dengan raut bingung.
"Boleh Tante bantu kamu, Sayang?"
Kening Adinda mengerut bingung. "Maksud Tante?"
"Berapa tagihan rumah sakit?" tanya wanita itu sungguh-sungguh. Dan dengan wajah yang semakin bingung, Adinda pun menyebutkan nominal yang jumlahnya sangat besar. Namun, anehnya wanita itu tidak terlihat terkejut.
"Ayo kita ke resepsionis." Wanita itu menarik lengan Adinda, tapi Adinda menahan langkahnya.
"Tante ini maksudnya gimana? Saya nggak mau nyusahin Tante. Bahkan kita juga baru kenal."
Wanita itu tersenyum hangat. "Nama saya Marlina. Saya juga seorang ibu yang mempunyai anak. Mana saya tega setelah mendengar cerita kamu tadi?"
"Tapi Tante, itu jumlahnya nggak sedikit." Adinda merasa menyesal karena sudah menceritakan masalahnya pada orang asing. Sungguh, ia tidak berniat sampai ke arah sini.
"Tante tahu, dan Tante bisa bantu kamu," ujar Marlina dengan senyum lembut keibuan. Membuat Adinda semakin merasa bersalah. Wanita ini begitu baik, dan dia tidak boleh memanfaatkannya.
"Tapi Tan-"
"Kamu bisa anggap ini hutang, dan mencicilnya pelan-pelan," potong Marlina cepat.
Namun, Adinda menggeleng. "Saya hanya pelayan kafe, nggak akan bisa membayar hutang sebesar itu." Adinda mencoba untuk berpikir realistis.
"Kalau begitu, kamu bisa membayar dengan cara lain," ujar Marlina, kali ini ada sorot penuh harap yang terpancar dari mata itu. Hal yang sejak tadi tidak bisa mata Adinda tangkap, wanita ini kini seolah menunjukkan ruang rapuh yang terus disembunyikan.
"Apa itu Tante?" tanya Adinda, yang merasa trenyuh saat melihat mata wanita itu mulai berkaca-kaca.
"Menikahlah dengan anak saya." Mata Adinda pun melebar saat itu juga.
"Uang itu akan saya jadikan mahar, jadi kamu tidak perlu mengembalikannya."
Jantung Adinda pun perlahan berdetak cepat. Ada rasa takut, bingung, putus asa, yang kembali menyerangnya. Awalnya Adinda meminta waktu untuk berpikir, tapi nyatanya waktu tidak memihak padanya. Dan saat tetangga yang ia harap bisa menolong dengan membeli rumahnya ternyata baru saja membeli rumah di lokasi lain, maka Adinda tidak punya jalan keluar, selain menghubungi wanita itu.
"Oke, besok kita bertemu di rumah sakit dan saya akan melunasi semuanya."
"Tante, tolong buat surat perjanjian. Saya takut nantinya hati saya goyah," ujar Adinda yang merasa takut akan berbuat curang jika ada yang membuatnya tidak nyaman nanti.
"Baiklah, saya rasa saya memang tidak salah memilih. Kamu adalah orang yang tepat untuk menjadi pendamping anak saya."
Adinda hanya tersenyum tipis, menyerahkan kehidupannya di depan sana pada Tuhan. Semoga, semuanya berjalan lebih mudah dari yang ia duga.
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"
Pada hari Livia mengetahui bahwa dia hamil, dia memergoki tunangannya berselingkuh. Tunangannya yang tanpa belas kasihan dan simpanannya itu hampir membunuhnya. Livia melarikan diri demi nyawanya. Ketika dia kembali ke kampung halamannya lima tahun kemudian, dia kebetulan menyelamatkan nyawa seorang anak laki-laki. Ayah anak laki-laki itu ternyata adalah orang terkaya di dunia. Semuanya berubah untuk Livia sejak saat itu. Pria itu tidak membiarkannya mengalami ketidaknyamanan. Ketika mantan tunangannya menindasnya, pria tersebut menghancurkan keluarga bajingan itu dan juga menyewa seluruh pulau hanya untuk memberi Livia istirahat dari semua drama. Sang pria juga memberi pelajaran pada ayah Livia yang penuh kebencian. Pria itu menghancurkan semua musuhnya bahkan sebelum dia bertanya. Ketika saudari Livia yang keji melemparkan dirinya ke arahnya, pria itu menunjukkan buku nikah dan berkata, "Aku sudah menikah dengan bahagia dan istriku jauh lebih cantik daripada kamu!" Livia kaget. "Kapan kita pernah menikah? Setahuku, aku masih lajang." Dengan senyum jahat, dia berkata, "Sayang, kita sudah menikah selama lima tahun. Bukankah sudah waktunya kita punya anak lagi bersama?" Livia menganga. Apa sih yang pria ini bicarakan?
Selama sepuluh tahun, Delia menghujani mantan suaminya dengan pengabdian yang tak tergoyahkan, hanya untuk mengetahui bahwa dia hanyalah lelucon terbesarnya. Merasa terhina tetapi bertekad, dia akhirnya menceraikan pria itu. Tiga bulan kemudian, Delia kembali dengan gaya megah. Dia sekarang adalah CEO tersembunyi dari sebuah merek terkemuka, seorang desainer yang banyak dicari, dan seorang bos pertambangan yang kaya raya, kesuksesannya terungkap saat kembalinya dia dengan penuh kemenangan. Seluruh keluarga mantan suaminya bergegas datang, sangat ingin memohon pengampunan dan kesempatan lagi. Namun Delia, yang sekarang disayangi oleh Caius yang terkenal, memandang mereka dengan sangat meremehkan. "Aku di luar jangkauanmu."
Selama dua tahun, Brian hanya melihat Evelyn sebagai asisten. Evelyn membutuhkan uang untuk perawatan ibunya, dan dia kira wanita tersebut tidak akan pernah pergi karena itu. Baginya, tampaknya adil untuk menawarkan bantuan keuangan dengan imbalan seks. Namun, Brian tidak menyangka akan jatuh cinta padanya. Evelyn mengonfrontasinya, "Kamu mencintai orang lain, tapi kamu selalu tidur denganku? Kamu tercela!" Saat Evelyn membanting perjanjian perceraian, Brian menyadari bahwa Evelyn adalah istri misterius yang dinikahinya enam tahun lalu. Bertekad untuk memenangkannya kembali, Brian melimpahinya dengan kasih sayang. Ketika orang lain mengejek asal-usul Evelyn, Brian memberinya semua kekayaannya, senang menjadi suami yang mendukung. Sekarang seorang CEO terkenal, Evelyn memiliki segalanya, tetapi Brian mendapati dirinya tersesat dalam angin puyuh lain ....
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
Livia ditinggalkan oleh calon suaminya yang kabur dengan wanita lain. Marah, dia menarik orang asing dan berkata, "Ayo menikah!" Dia bertindak berdasarkan dorongan hati, terlambat menyadari bahwa suami barunya adalah si bajingan terkenal, Kiran. Publik menertawakannya, dan bahkan mantannya yang melarikan diri menawarkan untuk berbaikan. Namun Livia mengejeknya. "Suamiku dan aku saling mencintai!" Semua orang mengira dia sedang berkhayal. Kemudian Kiran terungkap sebagai orang terkaya di dunia.Di depan semua orang, dia berlutut dan mengangkat cincin berlian yang menakjubkan. "Aku menantikan kehidupan kita selamanya, Sayang."